Recent Tube

Mendengarkan Megaswara 89.8 Fm

Wabah dan Setia, Karya Dulhalim

For mania mega:



Sore menjelang maghrib ini, Dukri melakukan kegiatan seperti hari-hari sebelumnya. Namun kali ini ada yang berbeda, wajahnya tampak kusut menghadap gerobak nasi goreng yang ia dorong menuju tempat biasa ia menggelar dagangannya itu. 

Wajahnya memancarkan kesedihan dan bingung yang berkecamuk. Entah pertentangan batin apa yang tengah ia hadapi. Sesampainya di lokasi, ia tidak langsung merapihkan dagangannya.

Sudah menjadi kebiasaan setiap hari bahwa sebelum ia berjualan nasi goreng ia selalu menunggu untuk melaksanakan ibadah di mushola yang dekat dengan tempatnya berjualan.

Selepas melaksanakan ibadahnya, ia bergegas merapihkan sayur mayur, nasi, aneka bumbu, dan lain sebagainya, tapi tidak dengan meja dan bangkunya.

Sudah hampir genap satu minggu pemerintah setempat memberlakukan peraturan bahwa tidak diperbolehkannya para pembeli untuk menyantap pesanannya di tempat, melainkan harus dibawa pulang. Hal ini bukan tanpa alasan, tapi karena untuk meminimalisir dampak dan penularan wabah virus yang tengah melanda seantero jagat. 

Sudah lebih dari setahun virus ini menjadi momok yang mengerikan, bahkan sudah banyak tersiar kabar kematian di berbagai media akibat virus ini. Tapi, bagi para pedagang kecil seperti Dukri yang menggantungkan hidupnya dari hasil berjualan sehari-hari, rasanya tidak ada bedanya antara hilang nyawa oleh wabah atau kelaparan. 

Bagaimana pun caranya, Dukri harus berupaya demi sesuap nasi dan bahagia keluarganya. 

Dukri : “Bismillah ya Rajak. Ya Allah semoga kau berikan aku kecukupan.”

Tidak berselang lama, seorang waria menghampiri Dukri dan dagangannya. Dia adalah Jamilah alias Jamal. Bisa dibilang dia sudah menjadi teman bagi Dukri karena acapkali ia datang hanya sebatas untuk bercengkrama dan menghabiskan beberapa batang rokok garpit yang ia punya. Rumahnya tidak begitu jauh dari tempat Dukri berjualan, hanya berselang 2 Ruko saja. 

Jamal/Jamilah : “Hai gantengku..boleh ya aku duduk di sini, aduh aduh kok bangkunya pada di ke atasin sih, ah merepotkan saja, masa wanita cantik ini harus angkat-angkat bangku.”

Dukri : “Sudah jangan banyak ngomel, ambil saja bangkunya.”

Jamal/Jamilah : “Ih..kok ketus gitu, jahara deh.”

Dukri : “Ya kamu, datang-datang bukannya ucap salam, malah langsung nyerocos.”

Jamal/Jamilah : “Hehe, maafkan aku sayang. Kalau dilihat-lihat dari raut wajahnya sih, sepertinya lagi ada masoleh.”

Dukri : “Masoleh? Masalah...”(Sedikit tersenyum)

Jamal/Jamilah : “Nah gitu dong senyum, kan jadi cakep.”

Dukri duduk di bangku panjang bersama Jamal/Jamilah, wajahnya tertunduk lesu, sesekali ia mengutarakan ketidak mampuannya dengan menarik napas dalam-dalam.

Dukri : “Sudah setahun lebih, penghasilanku pas-pasan mal, lebih tepatnya pas untuk makan saja. Aku bingung harus bagaimana. Aku harus melunasi keuangan sekolah putriku, sementara penghasilanku hanya cukup untuk makan saja.”

Jamal/Jamilah : “Ya, semua pedagang juga mungkin bernasib sama kayak kamu. Jadi jangan ambil pusing, syukuri saja, bahwa masih ada untuk makan.”

Dukri : “Ya, aku selalu bersyukur dengan besar kecil yang ku dapat, tapi apakah uang sekolah anakku cukup dibayar dengan sukur mal?”

Jamal/Jamilah : “Ih ganteng-ganteng teh blegug. Ya jelas jauh ka enya haha..”

Dukri : “Itu dia mal, masalah syukur dan masalah yang satu itu adalah persoalan yang berbeda.”

Jamal/Jamilah : “Aku paham betul bagaimana perasaan kamu beb, Tapi kita sebagai rakyat kecil tidak bisa berbuat apa-apa juga. Disatu sisi mungkin ini adalah tindakan yang tepat dari sudut pandang pemerintah. Ya kita berdoa saja semoga cepat selesai pandemi ini.”

Dukri : “Iya, semoga saja.”

Jamal/Jamilah : “Beb, tolong buatkan satu dong, jangan pedes ya.“

Dukri : “Tumben kamu beli, biasanya cuma numpang ngopi doang.”

Jamal/Jamilah : ”Hehe, sebagai seorang sahabat, setidaknya cara ini yang aku bisa lakukan untuk membantu kamu kri. Aku tau kamu bukan tipe orang yang mau menerima sumbangan.”

Dukri : “Baru kali ini, aku mendengar dan melihat ketulusanmu mal.”

Jamal/Jamilah :”Baru? Ih dasar cowok, memang tingkat kepekaannya dibawah rata-rata. Ngomong-ngomong, kalau malam gini jangan panggil aku Jamal dong, pasang matamu baik-baik, dandanan sudah seperti Anya Geraldin gini, masa dipanggil Jamal. Jamilah!”

Dukri : ”Hahaha”

Obrolan mereka semakin panjang. Dari mulai masalah hidup sampai dengan kemenangan Italia atas Inggris di piala Euro 2021. Bagi Dukri, tidak penting siapa dia, tapi bagaimana dia memperlakukan seseorang yang dia anggap teman, itu sudah lebih dari cukup. Setidaknya, keriangan Jamal/Jamilah sedikit membuatnya terhibur. 

Malam semakin beranjak, terlihat dari jam tangan kusam yang dikenakan Dukri sudah menunjukkan pukul sembilan malam, namun tak ada lagi pelanggan setelah Jamal. Tidak berselang lama, mobil yang berisikan beberapa anggota Satpol PP dan Polisi berhenti tepat di depan gerobak Dukri. Mereka mengelilingi gerobak Dukri.

Polisi : “Selamat malam pak!, maaf sebelumnya, tolong agar dagangan bapak segera ditutup.”

Dukri : “Tapi pak, saya belum dapat uang. Dagangan saya belum laku. Baru satu pelanggan yang saya layani sedari tadi.”

Polisi : “Maaf. Tapi ini sudah peraturan. Dan ini, kenapa diperbolehkan makan di tempat. Anda bisa dikenakan denda karena melanggar peraturan.”

Dukri : “Oh, ini teman saya pak.”

Jamal/Jamilah : “Iya pak, rumah saya di situ. Deket kan?”

Polisi : ”Yasudah, kali ini saya hanya memberi peringatan. Lain kali pasti kami bertindak tegas. Sekarang silahkan tutup dagangannya.”

Dukri dengan rasa kecewa mengemas dagangannya. Matanya tampak berbinar seolah menahan ketidak berdayaan. Sementara itu, Satpol PP dan rombongannya berlalu pergi. Dukri mendorong gerobaknya pulang dengan langkah ragu. Dalam hati kecilnya seperti ada bara api kecil yang menyala dan asapnya membuat sesak di dada.  

Sesampainya di rumah, rasa sesak yang ia rasa seperti menahannya untuk masuk. Ia termenung di depan pintu rumahnya beberapa saat sebelum memutuskan untuk masuk.

Ratih : “Loh, masih jam segini kok sudah pulang? bagaimana mau mendapatkan uang kalau kerjanya malas-malasan!”

Istri Dukri tampak tidak senang dengan kedatangannya, namun Dukri melanjutkan langkahnya menuju dapur untuk menyimpan barang-barang dagangannya dan tidak menggubris ocehan istrinya. 

Langkah kaki Dukri sejenak terhenti melihat putrinya yang tampak sudah tertidur di kasur lantai yang berada di depan TV. 

Hatinya kacau, jika mengingat peristiwa siang tadi, di mana putrinya dengan wajah sedih meminta ayahnya agar melunasi SPP yang tertunggak beberapa bulan. Putrinya merasa malu karena tidak jarang mendapat panggilan perihal keuangan oleh pihak sekolah. 

Setelah membereskan barang-barang dagangannya, Dukri duduk di ruang tamu seorang diri. Tak berselang lama Ratih menghampiri.

Ratih : “Kang. Beras kita sudah mau habis.”

Dengan sedikit ketus istrinya berucap sambil menyimpan secangkir kopi pait di dekat Dukri.

Dukri : “Akang hanya dapat segini hari ini”

Dukri mengeluarkan uang lima belas ribu rupiah dari saku bajunya.

Ratih : “Uang segitu mana cukup kang!. Aku malu jika harus pinjam lagi ke tetangga. Yang kemarin saja kita belum mampu bayar!”

Ratih berlalu pergi meninggalkan Dukri duduk seorang diri. 

Keesokan harinya, seperti biasa Dukri bergegas dengan gerobaknya menuju tempat biasa dia berjualan. Setelah melaksanakan ibadah sholat maghrib, ia merapihkan dagangannya sembari mengamati sekitar, berharap Jamal ada di sana untuk sekedar menjadi tempat ungkapan hatinya bermuara dan barangkali mencari sedikit hiburan dengan humor-humor khas dari seorang Jamal, kawannya. 

Sudah cukup lama ia mengamati, namun Jamal tak kunjung datang atau terlihat batang hidungnya. Mungkin dia merasa takut akibat peringatan kemarin malam, pikirnya.

Dukri :”Tumben sekali tidak terlihat batang hidungnya. Jangan-jangan dia merasa kapok karena peristiwa kemarin? Ah tidak mungkin, aku tahu betul bagaimana si Jamal, Preman-preman sini saja buktinya menaruh segan padanya.”

Sudah tiga jam berlalu, namun tak ada satu pun pembeli yang ia layani. Dukri termenung di bangku plastik berwarna hijau yang selalu lekat dengan gerobaknya. 

Matanya menerawang jauh pada kemungkinan-kemungkinan dan harap yang samar tentang hidupnya dan nasib keluarganya. Lamunan Dukri tersentak oleh suara mobil yang berhenti di depan gerobaknya. Ternyata rombongan Satpol PP dan Polisi yang kemarin menegurnya kembali lagi.

Polisi : “Kamu lagi. Bukankah sudah saya peringatkan, para pedagang dilarang berjualan melebihi batas waktu yang ditentukan! Kamu punya telinga tidak! Hah?!”

Dengan nada tinggi polisi itu berujar dan tampak kedua matanya memerah bulat.

Dukri : “Maaf pak.”

Polisi : “Maaf maaf apa kamu! Sekarang dagangan kamu kami sita! dan kamu juga dikenakan denda karena sudah melanggar peraturan! paham?!”

Dukri : “Pak tolonglah, bapak-bapak ini seharusnya mengayomi rakyat kecil seperti saya, bukan seperti ini caranya pak. Kalau dagangan saya disita, istri dan anak saya mau makan apa pak?”

Dengan beban yang sedang ia tangggung seorang diri, emosi Dukri mulai sedikit terpancing mendengar ucapan dari Polisi tersebut.

Polisi : “Maksudmu apa menggurui saya. Kalau kamu mau protes, protes ke sana! ke orang-orang yang membuat kebijakan! Ini tugas saya! dan sudah menjadi kewajiban saya untuk menertibkan orang-orang yang ngeyel seperti kamu!”

Dukri : “Kalau bapak mau tangkap saya tangkap pak! silahkan! yang jelas saya tidak melakukan tindak kriminal. Saya tidak menjual narkoba di sini. Saya hanya mencari sesuap nasi untuk keluarga. Jangan mentang-mentang bapak berseragam, lalu bapak bisa seenaknya memaki dan menindas saya.”

Polisi : “Berani kamu melawan saya?! Saya aparat!”

Polisi tersebut semakin meluapkan amarahnya pada Dukri. Terlihat tangan kokoh dari seorang Polisi tersebut menggenggam erat baju Dukri seolah ingin melepaskan bogem mentahnya. Rekan-rekannya dengan sigap menahan tangan Polisi tersebut dan melerainya.

Dukri : “Silahkan pak! Pukul saya sekuat yang bapak inginkan. Kalau saya hanya mengalah menerima mata pencaharian saya diambil paksa, itu juga berarti saya menerima kalau besok keluarga saya tidak makan. Bapak hanya membanggakan seragam bapak. Saya aparat!, saya aparat!. Tapi apa pernah bapak memikirkan nasib kami orang kecil? Bapak enak mendapat penghasilan tetap, setiap bulan bisa makan enak. Saya menggantungkan harap pada gerobak ini. Tidak berjualan artinya tidak makan.”

Polisi : “Aakh..Hukum ya hukum. Tidak bisa ditoleransi. Paham?!”

Dukri : “Hukum yang seperti apa yang bapak maksud? hukum yang hanya tajam berlaku pada rakyat kecil? apa hukum itu yang bapak maksud?. Sepanjang hidup saya, saya tidak pernah melihat para koruptor yang dimaki aparat bahkan sampai dihajar habis-habisan. Tapi kami rakyat kecil selalu menjadi bulan-bulanan.”

Polisi : “Banyak bacot kamu! sudah saya katakan kalau kamu mau memprotes tindakan kami, silahkan ke atasan saya. Saya hanya pelaksana!. Angkut gerobaknya!”

Tanpa pikir panjang, gerobak nasi goreng milik Dukri diboyong oleh aparat. Dukri mencoba mempertahankan gerobaknya dan tanpa sadar air mata Dukri mengalir deras.

Dukri : “Pak tolong pak, jangan dibawa, ini satu-satunya yang keluarga saya miliki untuk berjuang hidup di masa sekarang ini. Tolong pak! saya harus membayar uang sekolah anak saya, saya juga harus memenuhi kebutuhan untuk besok pak. Tolong saya...”

Dukri meronta, menangis sejadi-jadinya. Namun semua itu tidak membuahkan hasil, gerobaknya tetap diangkut oleh aparat. Kini, hanya tertinggal Dukri seorang diri. Dukri menangis sembari memeluk kakinya. Terbayang dalam benaknya wajah anak dan istrinya.

Dukri : “Ya Allah.....!!!! kenapa kau biarkan semua ini terjadi! kenapa...?!”

Dukri berdiri sembari menyeka air matanya lalu melangkah gontai menuju rumahnya. Dalam perjalanan menuju rumahnya itu, sesekali tangisnya pecah. Tangis seorang bapak, seorang suami, juga tangis rakyat kecil. Malam itu seperti malam yang penuh dengan lecutan cemeti baginya. Tubuh dan seluruh rasanya seakan hancur lebur berserakan sepanjang jalan.

Dukri : “Assalamualaikum..”

Ratih : “Waalaikum salam.” 

Dukri : “Loh? ada apa ini? mau kemana kamu?”

Dukri terheran-heran ketiba tiba di rumahnya, terlihat Ratih istrinya tengah berkemas memasukkan pakaian pada sebuah tas jinjing besar berwarna coklat.

Dukri : “Ratih? Jawab! ada apa ini? kamu mau pergi kemana?”

Ratih : “Aku mau pergi kang. Aku mau kembali ke orang tuaku. Aku sudah bosan hidup dengan akang. Jangankan untuk membahagiakan anak istrinya seperti orang-orang, pergi jalan-jalan ke luar kota, liburan, belanja sana sini, untuk makan sehari-hari saja susah. Seharusnya, dulu aku mengikuti ucapan orang tuaku untuk menikah dengan Bayan saja. Lihatlah dia sekarang! dia sudah menjadi aparat desa, berpenghasilan tetap, hidupnya sudah enak kang!. Kalau saja aku tidak memilihmu dan menikah dengan Bayan, kurasa hidupku sudah bahagia!”

Dukri : “Ratih! Jaga ucapanmu! Segala sesuatu di dunia ini Allah sudah mengaturnya, termasuk jalan hidup keluarga kita!”

Ratih : “Alaaah..! Jangan bawa-bawa nama tuhan untuk menutupi ketidak mampuanmu kang!”

Dukri : “Ratih!”

Ratih : “Apa?! Akang mau menamparku?! tampar saja! silahkan!”

Mata Dukri berbinar memerah, rasanya ingin sekali tangannya menampar keras wajah istrinya yang sudah kelewat batas itu. Tapi ia urungkan niatnya, dalam hatinya ada kasih sayang yang melebihi rasa kecewanya. Selama mengenal Ratih, pantang baginya membuat ratih terluka baik fisik maupun perasaannya. Dukri selalu mementingkan bahagia Ratih di atas bahagianya, tentu dengan batas kemampuannya. Dukri menatap langit-langit sembari menarik napas dengan sedikit tersengal-sengal.

Dukri : “Baiklah Ratih, jika itu membuatmu bahagia, silahkan kau kembali ke orang tuamu.”

Ratih : “Dengan senang hati. Memang itu yang aku mau! Besok aku akan kembali membawa surat gugatan perceraian kita.”

Dukri : “Bagaimana dengan Eneng? Dimana dia?”

Ratih : “Akang jangan khawatir, dia sudah dijemput terlebih dahulu ke rumah orang tuaku.”

Dukri : “Dijemput? dijemput siapa?”

Ratih : “Mail, dia calon suamiku.”

Dukri tercengang mendengar perkataan Ratih. Orang yang selama hidupnya selalu menjadi prioritas kebahagiaannya, kini secara terang-terangan menikamnya dari depan. Air mata Dukri sudah hampir tumpah, tapi ia berusaha menegarkan hati dan menahannya.

Dukri : “Baiklah. Asal kau bahagia, aku ikhlas Ratih. Tolong jaga Eneng dengan baik.”

Dengan berbagai persoalan yang ia hadapi, nyatanya kekuatan Dukri untuk menahan air matanya perlahan melemah. Air mata Dukri berjatuhan membasahi lantai rumahnya. Tidak berselang lama, suara klakson motor terdengar dari arah depan rumah.

Ratih : “Kang Mail sudah datang, aku pergi, jaga diri akang baik-baik.”

Ratih berlalu pergi meninggalkan Dukri yang menangis terisak-isak di rumahnya. Perasaannya benar-benar hancur sehancur hancurnya.

Sudah hampir satu minggu dari peristiwa malam itu. Dukri tak pernah terlihat keluar rumah sekalipun. Sementara itu Jamal sahabatnya merasa heran karena hampir satu minggu ini tidak menjumpai Dukri sekalipun. Akhirnya karena merasa penasaran, Jamal mencari Dukri sampai ke rumahnya. Jamal melihat pintu rumah Dukri sedikit terbuka dan memberanikan diri masuk ke rumah Dukri.

Jamal/Jamilah: “Beb..? Dukri..?”

Ia menjumpai Dukri tengah berada di sebuah kamar dengan wajah depresi yang luar biasa.

Jamal/Jamilah: “Ya Tuhan, Dukri? kamu kenapa? aduh...orang-orang rumah pada kemana sih?”

Dukri : “Hilang..”

Jamal/Jamilah: “Hah? hilang apanya?”

Dukri : “Gairah hidupku sudah hilang Mal. Aku ingin mati saja.”

Jamal/Jamilah: “Boa edan! Istighfar Dukri. Sebenarnya ada apa ini?”

Dukri : “Daganganku disita, istriku pergi menikah lagi dengan orang lain. Aku sekarang seperti menghadapi dahsyatnya sekarat dalam hidup.”

Jamal/Jamilah: “Bajingan si Ratih!

Suara pria Jamal menggelegar mendengar sahabatnya dihianati oleh istrinya.

Jamal/Jamilah: “Biar aku acak-acak wajahnya. Belum tau dia bagaimana aku kalau marah!”

Dukri : “Jangan Mal, sedikit saja kamu melukai atau memaki Ratih, kau juga akan berurusan denganku”

Jamal/Jamilah: “Ya aku tahu kamu mencintai istrimu itu, tapi kalau sudah sampai seperti ini, dia sudah tidak layak lagi untuk kamu cintai Kri!”

Dukri : “Terimakasih Mal, tapi itulah sumpahku pada penciptaku. Bahwa aku akan selalu mencintai Ratih apapun yang terjadi”

Jamal/Jamilah: “Hadeuh, dasar blegug! yasudah terserah kamu saja, yang jelas sekarang kamu biar aku bawa ke puskes dulu.“

Berhari-hari Dukri dirawat oleh sahabatnya, Jamal.

Jamal/Jamilah : ”Kri, kondisi kamu sekarang sudah lebih baik. Besok mungkin aku tidak akan ke sini, kamu harus mengurus dirimu sendiri ya. Kamu bangkit Kri, apa kamu tidak rindu dengan anakmu?”

Dukri : “Ya Mal, terimaksih. Maaf aku belum bisa membalas budi baikmu. Aku belum berani menemui Eneng Mal. Tapi suatu hari nanti, pasti aku akan datang menemuinya dan membawakannya hadiah yang selalu ia inginkan.”

Jamal/Jamilah : ”Kalau niatmu seperti itu, ya kamu harus mencari uang dulu. Kerja dong, jangan hanya diam di rumah.”

Dukri : “Ya Mal, insha allah besok aku akan pergi mencari pekerjaan.”

Jamal/Jamilah : “Mau cari kerja apa?”

Dukri : ”Aku juga tidak tahu. Yang jelas apapun itu asal bisa menghasilkan rupiah dan halal, pasti aku kerjakan.”

Jamal/Jamilah : ”Kalau begitu bagaimana kalau kita bekerja sama, kita coba ternak sapi perah. Bagaimana?”

Dukri mulai merencanakan memulai usahanya dengan Jamal. Mereka memberanikan diri untuk meminjam uang ke bank dengan nominal yang lumayan besar. Awalnya mereka hanya membeli 3 ekor sapi perah. Lambat laun usahanya mulai berkembang pesat. Susu sapi milik Dukri dan Jamal menjadi buruan pabrik-pabrik minuman susu. Kini Dukri dan Jamal menjadi seorang milyarder. Mobil dan rumah mewah sudah mereka miliki. Meskipun kini bergelimang harta namun Dukri tetap tidak mau menikah lagi, baginya cinta hanya hidup satu kali dalam hidupnya.

Pagi ini Dukri tengah menikmati secangkir kopi pahit yang menjadi menu wajib di setiap paginya. Tak berselang lama, seorang penjaga rumahnya menghampiri, memberitahukan bahwa ada seorang wanita yang ingin menemuinya. Dukri menghampiri wanita itu dan betapa terkejutnya dia ternyata wanita itu adalah Ratih. Dalam hatinya, Dukri merasa bahagia karena bisa melihat wanita yang hingga saat ini masih ia cinta berdiri tepat di hadapannya.

Dukri : ”Ratih?”

Ratih : ”Kang.”

Dukri : ”Ayo masuk, tidak enak kalau ngobrol di sini”

Dukri : ”Aku masih tidak menyangka, kau sudi menyinggahi rumahku ini.”

Ratih : ”Kang, aku mau minta maaf tentang...”

Dukri : ”Sudahlah Ratih, jangan koreh lagi luka yang sudah mengering.”

Ratih : ”Maaf kang. Aku mendengar kabar kalau akang sekarang sudah menjadi orang sukses.”

Dukri : ”Alhamdulillah Ratih, ini semua karena Allah..”

Ratih : ”Kang, aku datang ke sini ingin menanyakan sesuatu.”

Dukri : ”Tentang apa?”

Ratih : ”Masihkah akang mencintaiku?”

Pertanyaan Ratih membuat Dukri tertegun dan bertanya-tanya.

Dukri : ”Ratih, jujur ku katakan padamu, hingga akhir hayat ini, cintaku masih terpatri namamu.”

Ratih tersenyum simpul mendengar perkataan Dukri.

Dukri : ”Dan bagaimana pun, aku tidak akan pernah menemukan kebahagiaan yang sama pada sosok yang berbeda. Setiap orang punya hangat peluknya masing-masing. Punya nyaman pundaknya sendiri-sendiri. Sebab itu, satu yang hilang tak akan pernah tergantikan dengan seribu yang datang. Bisa kau lihat Ratih, sampai saat ini aku masih belum memperistri wanita manapun.”

Senyum ratih semakin merekah mendengar perkataan Dukri berikutnya.

Ratih : ”Kalau begitu, apakah akang mau menjadi suamiku lagi?”

Dukri : ”Menjadi suamimu? bagaimana dengan Mail?”                     

Ratih : ”Beberapa bulan setelah kami menikah, dia menceraikan aku kang. Setiap malam kerjaannya bermain judi dan perempuan. Ketika pulang, aku pasti selalu jadi pelampiasan kekesalannya dalam bermain judi.”

Dukri : “Ya Allah, aku turut prihatin dengan nasib rumah tanggamu. Bagaimana dengan Eneng?”

Ratih : ”Eneng sehat kang. Dia aku masukkan ke pondok pesantren Al-Ikhlas. Sering sekali dia menanyakan keberadaanmu.”

Dukri : ”Begitukah? Syukurlah, nanti pasti aku akan sering menjenguknya. Terimakasih, kau sudah mendidiknya dengan benar. Untuk itu mulai sekarang izinkan aku memenuhi kewajibanku sebagai seorang bapak dalam membiayai segala kebutuhan anaknya”

Ratih : ”Ya kang. Lalu bagaimana dengan tawaranku tadi kang? apakah akang mau kembali bersanding bersamaku?”

Dukri : ”Ratih, sudah berulang kali ku katakan padamu betapa besar cinta kasihku padamu. Tapi maafkan aku Ratih, pantang pisang berbuah dua kali. Dulu, cintaku kau injak-injak. Kau tahu Ratih? aku sekarat menahan beban perasaan. Dan sekarang kau berpaling dari lelaki yang kau pilih, memintaku untuk kembali? Maaf Ratih, aku tidak bisa.”

Ratih terduduk bersimpuh, menangis sejadi-jadinya. Perlahan Dukri membantunya berdiri.

Dukri : ”Kau tidak usah risau Ratih. Jika yang kau pikirkan adalah materi untuk hidupmu, aku ikhlas membiayai hidupmu. Tapi maafkan aku, aku tidak akan bisa kembali menjadi suamimu.”

Tangis Ratih semakin menjadi-jadi. Rasa malu dan penyesalan bercampur baur menjelma air matanya yang mengalir. Ia menyesal karena menyianyiakan sosok lelaki yang kini memegang pundaknya setelah bertahun-tahun lamanya menderita karena perbuatannya. Lelaki yang tetap menggenggam sumpah pada tuhannya, untuk mencintainya apapun yang terjadi.

SELESAI.

-------------

Penulis : Dulhalim (Praktisi Sastra, Guru B. Indonesia di Salah Satu SLTA di Kabupaten Kuningan)

Edit : Dede

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments

close
close
close