Recent Tube

Mendengarkan Megaswara 89.8 Fm

[Cerpen] Siti-Ramli, Karya Dulhalim

For mania mega:


Ramli duduk di dekatku, pandangannya teduh ke arah gelapnya malam, aku tertegun, bibirku seolah tak ingin lagi melanjutkan kata-kata tadi. Aku hanya ingin diam dan merasakan kedamaian di dekatnya.

Disaat temaramnya alam kian memekat, disaat itu pula seakan bunga-bunga berguguran menghiasi hatiku. Tersapu angin kesana kemari, seolah menari nari dengan riangnya. Bagaimana tidak, hanya disaat mengaji di surau, aku bisa melihat dan bertemu dengan Ramli. Seorang lelaki sederhana, yang sudah menarikku jatuh ke dalam cintanya. Entah apakah dia juga merasakan hal yang sama atau tidak, aku tidak begitu peduli dan tidak pula begitu berharap cintaku ini menuai hal yang sama. Hanya saja, aku mencintainya, dan bahagia hanya dengan melihatnya.

Selepas isya, orang-orang yang belajar mengaji duduk berjajar berurutan. Aku selalu menyengajakan diri berada di urutan terakhir agar bisa lebih lama melihat Ramli. Malam itu, hujan yang tidak begitu deras tampaknya enggan mempersilahkan kami beranjak dari surau. Hingga satu demi satu orang-orang memaksakan pergi. Bukannya aku tidak ingin segera pulang karena malam memang tampak sudah larut, tapi jika aku memaksakan diri untuk menerjang hujan, maka risiko yang harus aku ambil adalah aku harus berjalan dengan keadaan gelap gulita, mengingat belum ada penerangan yang cukup di desaku. Hanya obor inilah satu-satunya harapan. Aku duduk termenung di dekat pintu masuk surau, memandang lepas kegelapan yang riuh.

“Siti? kamu belum pulang?”

“Ramli?. Oh iya ini..aku, aku..”

Ramli duduk di dekatku, pandangannya teduh ke arah gelapnya malam, aku tertegun, bibirku seolah tak ingin lagi melanjutkan kata-kata tadi. Aku hanya ingin diam dan merasakan kedamaian di dekatnya.

“Nyanyian alam bernama hujan ini bukankah syahdu? Syairnya bermakna rizki dan karunia dari yang maha kuasa. Benar kan Siti?”

“Ah? iya, benar..” 

“Malam sudah semakin larut, tidak mungkin rasanya jika kamu harus bermalam di surau ini bukan? Mari biar aku antar kamu pulang. Ini, pakailah sajadahku untuk sedikit membantu melindungimu dari hujan, ambillah”

kami beranjak pergi memecah hujan, Ramli berjalan di depanku dengan tubuhnya yang basah dan aku mengikutinya di belakang dengan berpayung sajadah yang dia pinjamkan. Setengah perjalanan kami tidak berbicara satu topik pembicaraan pun. Lalu sesampainya di persimpangan jalan kebun pisang yang tidak begitu jauh dari rumahku, Ramli berhenti dan membalikkan badannya.

“Siti, aku mengantarmu sampai sini saja ya? tidak baik jika dilihat orang lain. Maaf ya?”

“Iya tidak apa, terimakasih sudah mengantarku, sajadah ini biar aku cuci dulu, nanti pasti akan ku kemballikan”

“Baiklah kalau begitu, kamu hati-hati ya, Assalamualaikum..”

“Waalaikumsalam..”

Aku berdiam tak bergeming  menyaksikan Ramli beranjak pergi. Hatiku terasa hangat diantara guyuran hujan. Rasanya ada sesuatu yang menggelitik di hati. Saat aku membalikkan badan, tiba-tiba sudah berdiri dihadapanku seorang lelaki bernama Bayan, anak kepala desa kami yang memang memiliki ketertarikan padaku, dan sudah beberapa kali lamarannya aku tolak.

“Hallo manisku? Sedang apa di sini malam-malam begini? pasti nungguin aku ya hahaha”

“Aku mau pulang, permisi.”

Saat aku beranjak beberapa langkah melaluinya, tiba-tiba dia menyergap tubuhku dari belakang. Sekuat tenaga aku meronta agar terlepas. Tapi semakin kuat pula dekapannya. Bayan menyeretku masuk ke kebun pisang. Aku dipukul hingga pingsan. Lalu, kesucianku direnggut paksa.

“Inilah akibatnya jika kamu berani menolak pinanganku siti!”

Malam beranjak pergi. Pintu rumahku diketuk dengan kuatnya.

“Pak Karyo...pak...pak Karyo...”

“Ey..ey... ada apa ini? bisa rusak pintuku kalau sekuat tenaga kamu memukulnya. Bukannya ucap salam..ada apa?”

“Itu pak, Siti, saya menemukannya tergeletak di kebun sana pas saya lewat. Bajunya compang-camping, saya tidak berani membawanya ke sini biar bapak saja”

“Semprul. terus kamu biarkan anak saya tergeletak sendirian di sana ha?”

“Iiih...masalahnya Siti dalam keadaan setengah telanjang. mana berani saya angkat dia ke sini.”

“Apa?! Ya allah Siti...”

Sesampainya di rumah, aku sadarkan diri, rasanya aku melihat hantu di setiap aku memandang dan memejamkan mata. Pikiranku kacau.

“Siti...nak...apa yang terjadi denganmu, ceritakan pada Ibu nak..”

Aku baru mengingatnya, bahwa perempuan dihadapanku ini adalah Ibuku. Tangisku pecah di pelukannya. Tidak berselang lama, suara gaduh terdengar dari arah luar rumah. Aku melihat dari arah jendela, terlihat segerombolan warga yang dikomandoi Ayahku tengah mengarak Ramli. Tubuhnya penuh darah, tangannya diikat dan lehernya dikalungi tambang seperti kerbau.

“Biadab!”

“Asu!”

“Dasar cabul!”

Cacian terdengar mengiringi kedatangan Ramli dan gerombolan warga. Aku beringsut keluar dengan tangis yang semakin menjadi-jadi. 

“Bajingan!. Kamu harus bertanggungjawab atas perbuatanmu!”

“Demi allah, saya tidak melakukan apa-apa pada Siti” Suara Ramlan terdengar parau dan lirih, sementara darah segar masih mengalir dari hidung dan mulutnya.

“Masih mau mengelak kamu hah?! sudah jelas-jelas sajadah milikmu ada bersama anakku saat kejadian itu. Kalau bukan kamu siapa pelakunya?! Bangsat!” Pukulan Ayahku bertubi-tubi mendarat di wajah Ramli.

“Ayah...! jangan Ayah...!” aku berlari sekencang-kencangnya, mencoba melerai kerumunan pukulan yang terlihat mengurung tubuh Ramli.

Aku memeluk tubuh Ramli yang tak berdaya. Tubuhnya bermandikan darah segar yang terus mengalir.

“Bukan Ramli! bukan!...”

Tangan Ramli yang gemetaran berlumur darah meraih wajahku, mengusap lembut air mataku. Matanya yang merah berlinang air mata terlihat teduh seperti biasanya. Ramli tersenyum kepadaku.

“Siti, maaf wajahmu harus kotor karena darahku. Aku hanya ingin air matamu itu hilang. Tak sanggup aku melihatmu seperti ini. Siti, demi allah aku mencintaimu, tapi maaf aku...”

kata-kata Ramli terpenggal sebuah tarikan nafas yang dalam. Lalu, ketika tarikan nafas itu terlepas, Ramli benar-benar pergi meninggalkanku dan ucapannya yang belum usai. Aku menangis sejadi-jadinya. Terbesit dalam benakku, pandangan teduh Ramli, tawa Ramli, suara Ramli, senyum Ramli, segalanya tentang Ramli. Dalam diam dia mencintaiku, hingga akhir nafasnya. Amarahku memuncak, aku bergegas meraih bilah bambu runcing yang dibawa salah satu warga.

“Kalian kejam! menghakimi tanpa bukti pasti! Asal kalian semua tahu. Bukan Ramli. Bukan. Tapi si biadab Bayan yang melakukannya padaku. Kalian bunuh orang tak berdosa. Biadab! Maafkan anakmu ayah, ibu, Siti mencintai Ramli, dan siti tidak akan menemukan bahagia tanpanya. Relakan Siti menjemput bahagia Siti.”

Aku tancapkan bilah bambu runcing itu menembus perutku. Pandanganku kabur. Suara Ibu dan Ayah masih terdengar samar memanggilku sebelum semua sunyi dan gelap.

______

Penulis : Dulhalim (praktisi sastra, dan Guru B.Indonesia di SMK Pertiwi Cilimus-Kuningan)

Edotor : Dede


Baca Juga

Post a Comment

0 Comments

close