Saya bawa keluar Kuda saat matahari mulai meninggi. Saya rawat tubuhnya yang hitam, gagah, perkasa, tak mau tubuhnya terkena penyakit gatal. Saya bersihkan di bawah pohon kayu yang biasa jadi tempat ia berteduh.
Kuda telah menjadi alat kemenangan saya. Sang pembawa hoki. Berulang kali dia menjuarai turnamen balap kuda. Berbagai taruhan dan uang saya dapatkan. Bahkan, rumah dan lapangan kuda tempat berlatih yang sekarang saya miliki ini, adalah hasil kemenangan kuda itu juga.
Dia selalu siap sedia berlari kencang. Sebab itu, saya harus terus merawatnya, sebaik-baiknya.
Kuda tidak minta macam-macam. Hanya susu dan rumput sederhana dari kebun ilalang di dekat rumah. Saya bersihkan tubuhnya dengan air dan sabun, agar dia selalu segar.
Ketika saya sedang asyik merawat kuda, seorang teman datang berkunjung. Dia buka pagar dan masuk ke kandang kuda, tempat saya merawat kuda jantan ini.
“Besok, mau bertanding kembali?”
“Besok…”
“Iya… besok pertandingan paling bergengsi!”
“Apaan itu?”
“Sebuah pertandingan yang diadakan oleh para pengusaha-pengusaha kaya. Mereka melihat ini sebagai hobi baru mereka. Musim kuda seperti ini, mereka tidak mau ketinggalan!”
“Saya tak pedulikan itu!”
“Kamu harus peduli!”
“Kenapa mesti saya?”
“Sebab kamu punya kuda yang terbaik!”
“Saya merasa kuda saya memang terbaik.”
“Itu sebabnya, kamu harus ikut bertarung!”
“Bukan saya… tapi kuda saya!”
“Iya, kudamu harus bertarung!”
“Tapi, saya tidak mau.”
“Kenapa tidak?”
“Saya hanya ikut turnamen yang kecil-kecil saja. Kuda ini belum tentu sanggup melawan kuda-kuda berkelas di turnamen besar itu.”
“Kamu salah!”
“Terus…”
“Seharusnya kamu beranikan diri dan kudamu. Kamu mantapkan kudamu untuk berlari di turnamen besar itu!”
“Saya rasa tidak!”
“Kamu harus!”
Teman saya memberitahu tentang turnamen besar yang akan diadakan oleh para pengusaha berduit yang suka hobi-hobi baru. Mereka akan bertaruh besar-besaran untuk hobi itu.
Saya disuruhnya untuk ikut dalam pertandingan balap kuda dalam turnamen tersebut. Tapi, saya belum merasa sanggup untuk merelakan kuda saya berlari dalam turnamen besar itu nantinya. Sebab, kuda-kuda yang ada di sana pastinya juga kuda-kuda pilihan. Mereka akan berlari dengan kecepatan yang tinggi. Kaki-kaki mereka kuat dan kokoh. Tubuh mereka pasti tinggi dan gagah. Saya tak merasa kuda saya kalah, tetapi saya hanya merasa kuda-kuda itu lebih berat dan lebih baik dari kuda saya.
Kuda kesayangan saya ini sudah berlari puluhan kilometer. Dia sudah pernah melewati antar kota dan berbagai daerah. Kuda ini juga pernah menyelamatakan saya saat menghadapi bandit-bandit yang mengancam nyawa saya.
***
Saat saya melewati perbatasan kota yang sudah tidak dijaga oleh seorang kemanan, saya telah sampai pada jalan panjang yang sepi, tanah di sana sangat tandus. Hanya tumbuh kaktus. Kaktus yang dihinggapi oleh burung-burung bangkai dan tentunya bangkai-bangkai hewan yang sudah mati entah dibunuh oleh hewan predator atau sekumpulan burung pemakan bangkai itu. Bau bangkai hewan tersebut sangat menyengat. Sangit, dan sangat menusuk hidung. Saya tutup hidung. Kuda saya sampai mengendus-enduskan hidungnya dan menjingkrakkan kakinya serta ekornya. Itu tandanya kuda saya sudah tak suka dengan bau yang menyengat itu. Jalanan yang sepi ini masih panjang dan kering. Tidak ada mata air. Tidak ada sungai mengalir. Hanya ada debu dan panas.
Baru setengah perjalanan, saya temukan sebuah kedai kecil. Sebuah kedai yang terbuat dari kayu tua. Saya mampir sebentar ke kedai tersebut. Saya turun dari kuda. Saya ikatkan kuda itu di depan kedai. Saya elus-elus badannya yang hitam. Saya masuk ke kedai.
Di dalam kedai tersebut hanya ada seorang lelaki tua dan anak gadisnya. Di belakangnya, terdiri papan-papan untuk botol-botol minuman yang megenakkan. Saya masuk ke dalam. Saya duduk di kursi yang tinggi dan lumayan kecil untuk pantat. Saya pesan satu buah soda dingin. Saya buka topi saya. Kumis yang tipis ini terasa sedikit gatal. Saya naikkan dan saya elus-elus kumis tipis di atas bibir saya ini. Orang tua pemilik kedai itu ramah. Dia mengajak berbicara ngalor-ngidul. Saya masih nyambung dengan pembicaraan pak tua itu. Anak gadisnya sedari tadi nampaknya mendengarkan pembicaran. Dia sedikit melirik saya di tempat saya duduk dan minum.
Anak gadis pak tua itu lalu duduk di dekat ayahnya. Dia bertanya pada saya tentang asal dan tujuan saya.
“Sekiranya, Tuan darimana?”
“Saya ini seorang pengembara. Saya berasal dari jauh.”
“Hendak kemanakah, Tuan?”
“Saya hendak pergi sejauh-jauhnya.”
“Tanpa tujuan?”
“Tentu! Syaa tak punya tujuan. Saya adalah pengembara. Saya berasal dari Texas. Saya hendak pergi jalan-jalan. Tetapi saya ketagihan keluyuran tak pulang-pulang. Saya menuruti arah matahari dan angin saja. Sekiranya di mana nanti saya sampai pada tujuan tersebut!”
“Tuan sungguh berani.”
“Saya tidak punya keberanian!”
“Lalu…”
“Saya hanya punya kuda dan nyawa saya!”
“Lalu…”
“Lalu saya akan mencapai apa yang ingin saya lakukan dan apa yang ingin saya sukai!”
“Begitukah?”
“Tentu! Saya tak pernah ragu!”
“Tentu? Benarkah?”
“Tentu! Benar! Saya tidak pernah berbohong pada seorang wanita. Apalagi wanita cantik!”
Dia nampak tersipu malu setelah saya beritahu dan saya sindir bahwa dia itu cantik. Saya menyampaikan kejujuran. Karena bagi saya, kebohongan hal yang tidak perlu dilakukan. Saya memegang prinsip itu. Apalagi saya lelaki. Lelaki penunggang kuda. Tentu harus gagah berani.
Saat saya lagi ditemani gadis cantik itu, sekelompok bandit datang ke dalam kedai. Tiga orang lelaki. Masing-masing membawa pistol dan menembaki langit-langit kedai. Kayu tua itu berlubang terkena peluru-peluru dari bandit-bandit yang terlihat tidak suka kedamaian dan membenci nyawa manusia. Mereka seperti ingin menumpahkan darah. Saya tahu, dari mata mereka yang dingin, beku , dan tanpa ekspresi. Mereka orang yang kejam dan penuh ambisi.
Saya harus bersiap. Saya harus melindungi tiga nyawa. Nyawa saya, nyawa pak tua pemilik ekdai, dan nyawa gadis cantik itu. Kalau untuk kuda saya, dia bisa menjaga nyawanya sendiri. Saya sudah percaya padanya. Aku telah bersiap. Para bandit itu telah bersiap. Mereka arahkan tiga moncong pistol padaku. Mereka suruh saya berlutut. Saya tengok pak tua pemilik kedai itu, dia sudah siap dengan senapan laras panjang. Saya perlahan menggeser kaki saya. Saya tak gemetar. Sebagai lelaki memang jangan sepatutnya gemetar. Gemetar adalah milik mereka yang pecundang. Saya lelaki, bukan pengecut.
Dor…Dor…, suara senapan laras panjang milik pak tua pemilik kedai telah menumbangkan dua bandit itu. Tersisa satu bandit. Dia arahkan pistol ke arah pak tua pemilik kedai. Saya buruan menembaknya dengan pistol di pinggang. Saya hantam dia dengan rantai di tubuh saya ini. Saya, pak tua pemilik kedai, dan gadis cantik itu selamat.
Saya segera berlari ke luar. Saat saya membuka pintu kedai, sebuah tembakan mengenai lengan saya. Baju saya berlubang, begitu juga kulit lengan saya ikut meneteskan darah segar. Tembakan itu berasal dari bandit yang sudah saya kira mati, ternyata masih bertahan dan menembak saya. Saya tak sanggup menggerakkan lengan. Pistol telah terjatuh. Jika mengambil pistol itu, maka tembakan kedua juga akan mengenai tubuh saya.
Saya berlari saja. Saya lepaskan kuda dan berlari sekencang-kencangnya. Kuda itu tahu situasi yang begitu darurat. Dia berlari. Melewati burung-burung bangkai dan bangkai-bangkai hewan mati. Sepanjang saya melewati jalan sepi itu, burung-burung yang suka bangkai dan darah itu memandangi saya seperti sebuah bangkai. Dia kira darah segar yang semakin kering dan membusuk itu adalah darah yang enak bagi mereka santap. Saya kencaangkan pacuan kuda saya lagi. Kuda saya berlari. Begitulah saya sampai pada sebuah hunian kecil yang hanya di huni oleh beberapa rumah saja.
Saya hidup dengan ikut berbagai ajang larian kuda. Dari uang itulah, bisa membeli tanah dan rumah, serta lapangan pacuan kuda. Saya beruntung.
***
Begitulah, sampai sekarang saya ketagihan menyuruh kuda ini untuk balapan. Saya hidup dari pacuan kuda. Saya kaya dari pacuan kuda. Kuda ini adalah hoki tersendiri bagi saya. Begitu saya tahu teman saya menyuruh saya untuk ikut turnamen yang diadakan oleh pengusaha-pengusaha kaya raya itu, saya pikir-pikir kembali. Ketika dia membuka pintu akan pergi meninggalkan saya, saya panggil dia.
“Di manakah turnamen itu akan diadakan?”
“Turnamen itu akan berlangsung tiga jam dari sekarang.”
“Di manakah?”
“Di tempat ini.”
Dia memberikan sebuah coretan alamat pada saya. Dia benar-benar telah memepersiapkannya. Dia ingin, saya benar-benar ikut dalam pertandingan itu. Tiga jam dari sekarang… pertandingan balap kuda akan dimulai. Saya mesti bergegas. Saya harus siapkan pelana kuda, sepatunya, dan juga obat kuatnya. Saya persiapkan semuanya setelah teman saya itu pergi dari sini.
Saya buru-buru pakaikan pelana di atas punggungnya. Saya pakaikan sepatu besi yang biasa dia pakai itu. Saya racik minuman kuatnya: dua telur ayam, susu, dan madu. Dia minum dengan rasa kehausan. Saya senang lihat dia semangat. Saya juga harus minum ramuan kuat. Saya minum, minuman penghangat badan dan susu segar. Biar melek saat berpacu di atas lapangan nanti.
Kuda ini bersemangat. Dia mengibaskan ekornya. Matahari semkain meninggi. Semangat dalam dada seperti terbakar. Menyala tinggi. Berapi-api ingin bertarung segera. Kuda yang tangguh ini segera saya lepaskan. Saya naik ke punggungnya. Secepatnya saya pacu dia berlari. Kuda berlari dengan kencang. Setelah minum ramuan kuat yang membuat otot dan kakinya mengencang, kuda ini bagai kesetanan. Dia berlari melepas tenaga.
Saya pacu kuda menuju alamat yang telah dituliskan teman saya. Di sebuah tanah lapang yang lumayan luas dan telah berdiri orang-orang kaya dengan mobil-mobil lengkap dengan pengawalnya. Di tanah yang lapang itu sudah berdiri para petarung. Penunggang kuda yang belum pernah saya lihat wajahnya dan terlihat dengan penuh ambisi kemenangan di wajah mereka semua.
Kuda-kuda yang mereka naiki tidak membuat saya kecut nyali.
Saya lihat teman saya itu sudah berdiri di antara barisan penonton di luar lapangan pacuan kuda. Dia memberikan saya senyuman dan sebuah kepalan tangan ke atas. Saya tak mengira apa yang dia maksudkan. Yang saya tahu, kepalan tangan dan senyuman itu adalah sebuah dukungan yang dia berikan untuk saya. Saya balas dengan hentakan kaki kuda yang mengangkat ke atas. Saya terlihat gagah di tengah lapangan pacuan kuda.
Segera saya daftarkan kuda ini untuk mendapat nomor pacuan kuda. Saya tak ingin kalah. Benar-benar saya tak ingin kalah. Saya sudah siapkan segalanya. Juri yang menjadi pemimpin turnamen ini memberi saya sebuah nomor. Nomor 9, sambil dia berkata pada saya dengan wajah datar dan tak bersahabat.
“Kamu siap terjatuh? Kamu siap bertarung?”
“Segera, saya akan siap bertarung!”
“Semoga kudamu ini masih punya tenaga melawan kuda-kuda petarung yang lain.”
“Kuda saya ini kuda yang telah mengalahkan puluhan kuda di tanah tandus!”
Dia memberikan saya sebuah nomor. Nomor itu saya kalungkan di leher kuda yang siap bertarung ini. Sebelum bertarung, saya oleskan balsam panas ke kakinya. Supaya dia menjadi lebih panas, seperti mesin yang siap memompa untuk melaju dengan tangkas. Dia mulai kepanasan. Kuda ini mulai kepanasan kakinya. Dia meringkik. Ringkikan kuda yang siap berlari. Saya usap rambut dan kepalanya sambil saya bisiki, “Kamu pasti menang. Lakukan yang terbaik!” Dia meringkik sekali lagi. Saya dan kuda ini telah siap.
***
Pertarungan telah siap dimulai. Lima detik dari sekarang, saya sudah menunggang di atas punggungnya. Tubuh kuda-kuda di pacuan ini lebih besar dari kuda yang saya naiki. Ringkikan kuda di pacuan ini lebih dahsyat dari kuda saya. Saya tak ciut nyali. Sekali lagi, kuda ini meringkik kembali. Sebuah bendera tanda pertandingan di mulai akan segera di lepaskan. Saat bendera tersebut sudah diangkat, maka kuda-kuda di turnamen ini akan berlari sekuat-kuatnya.
***
Bendera telah diangkat. Tandanya pertandingan telah dimulai. Segera, kuda ini saya pacu dengan tendangan kaki saya di pantatnya. Dia berlari menerobos angin dan barisan kuda yang lain. Dalam pertandingan ini, kuda-kuda pacuan ini harus berlari dua putaran. Jika ada kuda yang terjatuh dan kakinya patah, maka sudah jelas akan tereliminasi atau diinjak-injak oleh kuda-kuda yang berlari ganas.
Saya tak tengok kanan-kiri. Saya hanya tengok tanah dan arena balapan. Saya taruh mata kepala saya tepat di atas kepala kuda. Saya pacu kuda ini lebih kencang. Suara kaki-kaki kuda yang berlari membuat tanah-tanah tandus itu berguncang seperti gempa. Tanah-tanah pacuan itu berdebu hingga tak terlihat. Yang saya lihat hanya kuda yang saya tunggangi dan kemenangan saja. Optimisme melekat di dada saya. Tentu juga di dada para petarung yang lain. Mereka tidak akan mudah dikalahkan. Apalagi tubuh kuda-kuda yang mereka naiki adalah kuda-kuda terbaik, seperti apa yang telah teman saya katakan.
Kuda ini masih menerobos barsian kuda-kuda pelari. Dia mencari celah-celah yang bisa dilewati untuk segera berada di garis depan. Satu putaran sudah kami lalui. Kuda saya berada di urutan ke tiga. Dia lari dengan lincah dan gesit. Tidak percuma balsam yang saya bawa dari Texas. Balsam itu memang membuat kuda ini berlari gesit dan kesetanan. Seolah kuda ini tak mengenal ketakutan. Begitupun, dia terus berlari tanpa melihat kuda-kuda lain yang lebih ganas juga.
Pada urutan ketiga, kuda saya ini mencoba kembali menyalip kuda yang ada di depan. Dia mabil celah di sebelah kiri. Ya, di situ ada celah. Kuda saya mencoba mengambil alih. Dia berlari ke depan. Saat kuda saya sudah berada di posisi terbaiknya ini, kuda yang ada pada nomor dua dengan kulit warna coklat dan tubuh kekar itu menendang dada kuda saya. Kuda saya terpental. Terjatuh di sebelah kiri. Saya terpelanting dari atas kuda. Debu menutupi wajah dan kuda saya. Saya masih bisa berdiri. Saya lihat kuda saya juga berdiri.
Saya merasakan perbedaan. Benar-benar perbedaan, ketika berada dalam turnamen ini. Di turnamen sebelumnya, yang telah saya lalui, saya selalu di atas angin dan dengan mudah musuh-musuh yang lain saya kalahkan. Tetapi, ketika berada dalam turnamen besar ini, saya sungguh merasakan angin di atas saya. Saya segera menunggangi kuda saya yang masih bisa berdiri. Saya tahu, dia ingin berlari kembali.
Belum tertinggal jauh! Masih sempat untuk mengejar! Saya lepaskan sabuk celana saya. Sabuk itu akan saya gunakan untuk memacu lebih cepat tubuh kuda saya ini. Ya, saya naiki kembali. Dia berlari kembali. Sabuk warna hitam ini memacu lebih cepat kuda saya. Dia berlari lebih kencang. Kuda ini benar-benar tak mau dikalahkan. Dia terobos barisan kuda yang berlari dari sisi kanan. Kali ini saya melihat peluang. Kemungkinan, kuda ini yang nantinya menang sebagai kuda di barisan depan duluan.
Saya memang melihat peluang terbuka lebar. Kuda saya juga melihatnya. Dia berlari lebih kencang. Lebih kencang dari sebelumnya. Kami kejar angin yang sempat melebar. Kami akan berdiri di atas angin kembali. Sebuah garis akhir pacuan kuda akan kami raih pertama kali. Kuda ini mulai kehabisan nafas dan tenaga. Saya dengar desahan nafasnya hampir habis. Saya pacu sedikit lebih cepat.
Sebuah garis akhir telah kami terjang pertama kali. Kudaku kehabisan tenaga. Dia duduk merobohkan diri setelah terjatuh di tanah lapang. Saya buktikan kalau kuda saya ini kuda yang kuat dan tangguh. Kami berdiri di atas angin kembali.
Pati, 2020
________
Penulis : Muhammad Lutfi (Sastrawan muda Jawa Tengah)
Editor : Dede
0 Comments