Recent Tube

Mendengarkan Megaswara 89.8 Fm

[Cerpen] Ku Menanti Kau di Sudut Faucibus

For mania mega:


Dulu, dia pernah berjanji akan mengajakku datang ke faucibus ini untuk melihat kapal-kapal besar yang melintasi lautan dengan gagah. Namun lagi-lagi, kini kupertanyakan janji-janji itu? Kemana ia hendak melabuhkan semuanya? Kemana ia hendak kemudikan kapalnya?

Sekali lagi, satu crepusculum lagi. Dengan sinar jingga yang membias ke mega merah. Dan garis cakrawala yang membentang di ujung samudera. Masih di sudut Faucibus, berdua, dengan perasaan yang dirundung duka.

Aku masih meratapi semuanya, meratapi hal yang semestinya tak lagi terjadi padaku. Aku masih bersiteru dengan kenyataan, kenyataan yang semestinya tak lagi kualami. Dan aku masih mempertanyakan semuanya. Janji-janji yang dulu ia ucapkan, yang kini seakan mengekor bersama mentari di ufuk barat.

Entah, bagaimana aku menjelaskan perasaanku saat ini. Perasaan yang seperti tak mengenal tuannya, dan tak mengetahui kemana arahnya.

Satu, dua kapal ferri melintasi lautan di hadapanku. Besar, nan gagah. Entah mengapa tiba-tiba saja pelupuk mata ini seakan merasakan gerimis kesedihan. Ya, aku mengingat sesuatu. Dulu, dia pernah berjanji akan mengajakku datang ke faucibus ini untuk melihat kapal-kapal besar yang melintasi lautan dengan gagah. Namun lagi-lagi, kini kupertanyakan janji-janji itu? Kemana ia hendak melabuhkan semuanya? Kemana ia hendak kemudikan kapalnya?

Crepusculum kian menua. Mentari pun kian menyusut, yang terlihat kini hanya tinggal seperempatnya saja. Burung-burung sudah terbang membentuk formasi, kembali ke sarangnya. Satu persatu nelayan pun sudah mulai menepikan perahu kecilnya.

“Aku akan kehilangan sang crepusculum seperti aku kehilangan bayangannya.” desahku pelan, tertahan oleh isak tangis yang mulai pecah. Tangisanku mengalahkan gemuruh ombak crepusculum itu. Mengalahkan teriakan para nelayan yang menyeru kerabatnya untuk menepi.

Aku masih terpaku pada satu titik.

“Mengapa kau pergi? Mengapa kau menghilang? Mengapa kau tak memberiku sepucuk surat atau setangkai pesan?”

“Maafkan aku yang meninggalkanmu. Aku begini bukan tanpa alasan. Aku sungguh mencintaimu, teramat mencintaimu. Bidadariku, yang telah mengisi kehampaan relung hatiku.” Tutur kata yang aku rindukan

“Alasan apa itu?” ucapku

“Aku harus mengejar impian yang sudah lama kuharapkan.”

“Tidak bisakah aku ikut denganmu?” pintaku

“Tidak sayangku. Cepat atau lambat aku akan menghubungimu lagi, pasti. Percayalah.”

Air mata melepas kepergiannya, yang kuharapkan semoga ia selalu bahagia dan dapat meraih segala yang menjadi harapannya. Tidak munafik, layaknya manusia yang butuhkan udara dan ikan yang butuhkan air. Aku pun begitu, membutuhkannya untuk kembali sesegera mungkin. Karena ada rindu yang menggebu ketika ia jauh, ada sesak ketika ia tak memberi kabar, ada gundah ketika sosoknya tak lagi kulihat.

Masih kuingat ucapan terakhirnya padaku. Masih kurasa getaran indah ketika terakhir menatapnya. Masih kuhayati tiap detik nan bahagia ketika berada di sampingnya. “Percayalah.” Satu kata terakhir darinya yang selalu memenuhi pikiranku.

“Percayalah.” Ucapan lembut yang mengalunkan simfoni damai di relung hati. “Percayalah.” Yang kutahu, ada satu keyakinan dalam jiwaku yang selalu bersemayam di setiap langkahnya.

Cinta..

Jika cinta mengajarkan sebuah kekuatan maka itu berarti ada setitik kerapuhan darinya

Cinta..

Jika cinta mengajarkan sebuah kesetiaan maka itu berarti ada segaris pengkhianatan darinya

Cinta..

Jika cinta mengajarkan sebuah kesabaran maka, aku akan bersabar untuk cinta. Untuk orang yang kucinta.

Puluhan malam telah kulalui tanpanya. Tanpa ia yang dahulu menjadi lentera penerang tidurku, pendongeng pengantar lelapku. Kerap kali kubuka pesan terakhir darinya di ponselku, namun tiap kali kulakukan hal itu aku merasa bayangannya kian kuat memeluk rinduku. 

Ketika ponselku bergetar aku selalu berharap itu getaran darinya, getaran rindu yang ia isyaratkan melalui sebuah pesan singkat. Namun, pengharapanku selalu menyisakan titik semu.

Bintang gemintang, andaikan ia yang jauh di sana melihat sinarmu

Sampaikanlah hasrat rindu dari dasar qalbu

Kian meredup tanpa secercah sinar

Kian tandus tanpa segelintir butiran segar

Kalender yang menggantung di sudut kamarku kini perpijak tepat di tanggal 30. Ada sebuah kenangan yang mendalam di situ. Kenangan yang membawaku dari hulu kerapuhan ke hilir pengharapan.

Dulu, dengannya selalu ada sebuah keistimewaan ketika kami berhasil sampai pada tanggal ini. Harapan nan indah dan ungkapan sayang selalu membelai lembut perasaan. Sampai aku merasa tak ingin melangkah ke hari esok, karna esok bukanlah tanggal yang kami istimewakan.

“Hatiku nan jauh di sana, apa kabarmu? Kapankah kau hendak menghubungiku?” tanganku lembut mengelus tanggal yang sudah terlingkari oleh tinta merah.

Kristal bening mulai menganak sungai di pipiku. “Percayalah.” Kata terakhirnya seakan berdengung di gendang telingaku. “Percayalah.”

“Hatiku, kepercayaan ini bukan tidak berujung. Hanya saja, kepercayaan ini seakan terkalahkan oleh kenyataan. Bagaimana, Hatiku?” Aku terduduk lemah mengingat setiap kepingan kenangan yang tertinggal pada tanggal itu.

Bagaimana sang kepercayaan dapat mentahtai

Ketika sang kenyataan sudah merajai

Percaya ku inginnya tak terbatas

Karna ku tahu sudah kau gandrungi kepercayaanku dengan harapanmu

Namun kenyataan kian memantulkan jawaban semu dari sang harapan

Sehingga kepercayaan kian memudar pantulannya

Terbang.. Melayang..

Kabar burung tentangnya yang menyesakkan hati perlahan mulai memanah perasaanku. Satu, dua teman dekatnya mulai membisikkanku hal-hal yang tak ingin kudengar. Teman dekatnya berkata padaku, bahwa ia sudah tak lagi butuhkanku dan ia sudah bahagia ketika jauh dariku. Bungkamku dibuatnya.

Seperti sudah terhempas ke dasar samudera rasanya.

“Bagaimana bisa?” lirihku. “Percayalah.” Kata terakhir itu kembali berdengung di gendang telingaku. “Percayalah.”

Kutabahkan hati, kukuatkan perasaan untuk menepis kabar burung tentangnya itu.

Aku sudah lama mengenalnya, bukan hanya sehari dua hari namun bertahun-tahun. Dia adalah lelaki yang kutemui beberapa tahun lalu, yang dulu sempat menyatakan perasaan cintanya kepadaku. Meski kami tak ingin memiliki hubungan apapun, namun kami selalu terikat janji tuk saling mengasihi dan menyayangi.

Bersamanya aku terjerat dalam jaring-jaring, dengannya aku mulai rajut kasih dan menjalin cinta. Dia yang membuatku selalu tersenyum tanpa alasan dan menangis tanpa sebab. Dia yang sudi mengais sisa-sisa kepingan hatiku yang dulu terpecah ketika tak bersamanya.

Dia yang menunjukkanku keajaiban sebuah senja, “Senja hanya akan pergi tidak menghilang.” Begitu ucapnya. Dia lelaki yang sudah menumbuhkan sebuah pohon di tanah yang tandus.

Dia itu, yang buatku berani tuk berkata “Aku mencintaimu dengan segenap kekuranganmu dan kelebihanmu.”

Ia datang dengan segenggam benih

Kemudian duduk berlutut di atas yang tandus

Ia tebar benihnya, lalu ia airi dengan kasih

Memupuk dan merawatnya halus

Hingga tumbuh dan mewangi

Ialah yang berhak atasnya

Berhak memeluk dan memilikinya

Aku sudah tiba di penghujung tahun. Sudah ku lewati satu tahun tanpanya. Senyum sepanjang tahun yang terasa hambar tanpa sang empunya. Tawa yang terasa masam tanpa hadirnya.

Tak ku lewatkan satu hari tanpa tangisan untuknya di sepanjang tahun ini. Tangis yang satu persatu mengugurkan dedaunan. Berharap sang daun yang gugur akan tertiup angin dan terjatuh di hadapannya. Agar ia dapat mengetahui bahwa disni aku sangat merasa kehilangannya dan sangat merindukannya.

Kabar burung itu kembali bersua. Entah bagaimana bisa, kesabaranku tuk menantinya seperti tinggal seujung kuku ketika kudengar kabar itu. Kepercayaanku yang selalu pasang seketika surut dan mengering.

“Lebih baik kau menghubunginya, atau kau kirimkan surat kepadanya.” Begitu saran teman penaku. Kuiyakan sarannya tanpa banyak berkomentar. Hatiku memang seperti sudah tidak sabar hendak meluapkan segala kegundahan yang menyesakkan ini.

Sesampainya di kamar, kusobek secarik kertas dan mulai menuliskan segala kegelisahan, dan kegundahan yang terpendam. Tak habis kata yang kutuangkan untuknya melalui sepucuk surat itu. Kurangkai kata demi kata agar tetap indah kalimat di dalamnya. Sungguh, inilah surat pertama yang kutuliskan dengan deraian air mata.

Ku titipnya sepucuk surat itu kepada teman dekatnya. Harap harap cemas kunanti balasan darinya, semoga saja ia tak setega lelaki kemarin sore yang sudah memporak-porandakan perasaanku dulu.

Tak perlu menunggu lama rupanya. Malam ini ponselku bergetar dan ternyata itu, darinya. Sebuah pesan singkat yang sudah lama kudamba. Berdebar bukan main dada ketika membuka pesan, berharap sesegera mungkin hal indah itu bisa terulang.

Deg! Jemariku seakan kaku, mulut serasa bungkam, dan mata enggan berkedip. Membelalak membiarkan kristal bening menetes di atas layar ponselku.

Maafkan aku yang telah lama membiarkanmu dalam duka. Maafkan karena aku telah membuatmu terluka. Aku ingin sendiri untuk beberapa waktu ini bidadariku. Aku belum ingin menghubungimu lagi untuk saat ini. Aku ingin fokus dengan apa yang sedang aku jalani. 

Maafkan, mungkin aku tidak bisa menepati janji-janji yang sempat terucap di hadapanmu, bidadariku. Maafkan aku yang terlalu jahat kepadamu. Membuatmu merasakan luka yang sama untuk kedua kalinya. 

Namun, di tempatku berpijak dengan segenap rasa yang kumiliki. Percayalah, aku tetap mencintaimu. Kuizinkan kau jika hendak membenci dan mecaciku. Kumaklumi luka hatimu yang teramat menusuk karena sikapku.

Bidadariku, terimakasih telah ajari aku bagaimana caranya memupuk kesabaran dan menebar ketabahan. Yakinlah sayang, jika cinta kita abadi, maka sang pemilik cinta yang hakiki kelak akan mempersatukannya nanti.

Bagaimana bisa aku percaya dengan kenyataan yang saat ini ada dihadapanku. Bagaimana caranya aku bisa menerima semua yang terjadi secepat ini. Tidak akan ada asap kalau tidak ada api, begitu pepatah berkata. Namun, yang terjadi kini tanpa sebab yang jelas bahkan tanpa ada pembicaraan lugas. Wahai sang pemilik cinta sanggupkah aku menjalani hari-hariku tanpa sang mentari? Gelap kan terus menyergap kurasa. Sanggupkah aku menapaki alur kehidupan tanpa sang udara? Terisak sesak dadaku sepertinya.

“Aaaaaahhhhhhhh…” Teriakkanku menggetarkan seisi ruangan. Sungguh bagaimana bisa aku membencinya, padahal dahulu ia sosok yang sangat kucinta.

Benarkah yang orang bilang? Seseorang yang amat kau cinta dapat menjadi seseorang yang amat kau benci suatu saat nanti begitu pun sebaliknya.

Entah bagaimana orang menafsirkan cinta

Sedang yang ku tangkap cinta itu suci dan tak menyakiti

Bagaimana bisa cinta berubah jadi benci

Sedang mereka dua perasaan yang berbeda

Yang dahulu berdekatan kini bercanggungan

Yang dahulu bercumbu dalam asmara kini bersiteru dalam amarah

Begitukah?

Lalu bagaimana kalian menafsirkannya

Atau mungkin cinta dan benci jaraknya hanya setipis benang saja?

Di ujung Faucibus kini tinggalah aku bersama sinar samar sang rembulan. Rembulan sebagai saksi indah bagaimana sang Illahi memutarbalikkan alam. Seperti yang saat ini sedang ku alami.

Dermaga ini menjadi saksi bisu bagaimana sang pemilik cinta yang hakiki memutarbalikkan perasaan. Cintaku surut menjauh dari tepian dan kembali pasang dengan membawa kebencian?

“Ketika tiba saat perpisahan, janganlah kau membencinya. Ikhlaskanlah demi kebahagiaannya, karena kau tidak pernah tau dimana letak kebahagiaannya. Tabahkanlah perasaanmu meski berduka. Kuatkanlah hatimu meski terluka. Sebab apa yang paling kau kasihi darinya akan tampak lebih nyata dari kejauhan. Layaknya gunung yang akan lebih indah jika dilihat dari daratan.”

________

Penulis : Murniawati (pengamat sekaligus praktisi sastra, asal Mandirancan)

Editor : Dede


Baca Juga

Post a Comment

0 Comments

close