Recent Tube

Mendengarkan Megaswara 89.8 Fm

[Cerpen] Sesal, Karya Dina M Agustin

For mania mega:


Demikianlah hidupku, kini aku baru merasai kesepian tanpa adanya kau yang biasanya dekat dengan ragaku.

Tak akan ada lagi ocehan yang siap menggetarkan dinding ruangan setiap kita berselisih paham, juga tak akan ada lagi seseorang yang mengecup keningku dengan diam-diam dan mengusap dahiku dengan pelan. Aku tak bisa seperti kau, untuk mencium tanganmu setiap pagi saja aku enggan.

Aku ingin belajar dicinta dan mencintai yang sebenarnya sudah kau lakukan itu, mencintaiku dengan tulus tapi aku selalu saja salah mengartikan bahasa cintamu. Aku baru sadar, semuanya tak akan ada lagi, semua tak akan sama lagi. Gelas yang telah pecah tak mungkin akan kembali utuh dengan sempurna. Itu yang aku rasai sekarang. 

Kesepian, penyesalan, dan sakit yang kini bersemayam diujung nuraniku. Bagaimana aku bisa menjelaskan ini semua padamu? Sudah ada jarak diantara kita seiring jauhnya kau dari pandangan netraku, tapi kau tak pernah benar-benar pergi, kau masih ada disini didalam lubuk nuraniku. 

Aku ingin menjelaskan semua derit ini padamu, agar rinduku yang bersemayam berhamburan dan sesak didadaku tak aku rasai lagi.  Aku merasa engkau didekatku sekarang, ketika aku mengunjungi kamarmu tersenyum pada gambar yang ku ambil terakhir kali sebelum kau dijemput kematian. Kau berada disampingku, ingin ku dekap erat ragamu, ingin ku telungkup dalam pangkuanmu dan menghamburkan rinduku. Ingin ku jelaskan padamu bahwa aku mencintaimu sangat, aku ingin kau didekatku selalu. Aku ingin menceritakan hatiku yang tergores karena aku baru sadar sekarang betapa besarnya cintamu untukku.

Masih ku ingat, ketika itu kau menunjukan lagi sikapmu yang asli. Sikap yang dari dulu ku benci, keras kepalamu yang kini menjadi sikapku pula. Pewaris yang sempurna, hingga diantara kita selalu saja ada percikan yang siap membakar dinding kehangatan.

Aku menentangmu, ku perlihatkan ketidaksukaanku padamu. Mengapa dalam sakit pun kau masih bisa membuat orang lain untuk membencimu? Keras kepalamu dan kebiasaanmu yang membuatku muak untuk menuruti apa maumu. Merokok, itulah kebiasaanmu yang sangat aku kutuk. Karena rokok sekarang bersemayam penyakit yang suatu saat bisa menjemput ajalmu kapan saja. Tubuhmu sudah tergopoh tapi ada apa dengan hatimu? Tak bisakah hatimu melunak seperti tubuhmu itu. Ah Tuhan, mengapa dengan hati orang itu?

Waktu itu, sekitar pukul sepuluh malam aku belum ada di rumah. Kau menungguku dengan setia di sudut kursi, kau tertidur dengan mulut menganga. Aku membuka pintu dengan perlahan bukan aku takut kau terbangun tapi aku malas mendengar semua ocehanmu ketika kau terbangun. Aku anggap kau terlalu berlebihan melindungiku, aku sudah dewasa, aku bisa menjaga diriku sendiri. Tapi sekali lagi kau selalu saja mengocehku ketika aku memperlihatkan ketidaksukaanku padamu. Lagi dan lagi aku salah mengartikan bahasa cintamu itu, kunilai kau selalu lebih kejam dari yang kau perlihatkan, aku tahu semua ocehanmu itu jika disederhanakan “aku menyayangimu, aku bertanggung jawab atas dirimu”. Tapi selalu saja aku acuh padamu, berlalu begitu saja saat kau belum selesai dengan ocehanmu. Sikap dingin yang kuperlihatkan padamu adalah ketidaksukaanku pada kerasnya hatimu. Sebenarnya aku pun sangat menyayangimu.

Ingin rasanya aku menangis dalam bidang dadamu, ingin ku katakan aku sangat mencintaimu begitu besar, ingin kukatakan maaf dan menciumi punggung tanganmu ketika aku memergoki kau sedang mengadu pada Tuhan dan namaku terucap dalam setiap pintamu. Kau meminta pada Tuhan agar aku selalu dalam lindunganNya, agar hatiku selalu hangat. Tapi apalah dayaku, dinding dingin diantara kita terlalu kuat untuk aku mengatakan semua itu padamu.

Sakitmu kambuh, kau kehilangan paru-parumu sebelah karena ulahmu sendiri. Rokok yang kau anggap sudah menjadi bagian hidupmu kini telah menumbangkan kegagahanmu. Dengan dinginnya sikapku, aku memberimu sebungkus rokok dan aku merapal semoga rokokmu panjang umur, tapi bukan, bukan itu maksudku. Nuraniku berkata semoga kau panjang umur.

Ku katakan padamu bahwa ini obat mujarab untuk meyembuhkan sakitmu, ku kira kau akan marah karena kau yang tengah sakit karena rokok malah aku beri sebungkus rokok tapi kau malah tersenyum padaku, netramu tidak memerah, kau malah memelekku. Aku terheran, kau membuktikan bahwa kau sayang pada dirimu sendiri kali ini, kau membakar rokok itu dan aku hanya bisa terdiam.

Aku selalu bersikap dingin padamu meskipun kau tengah tak berdaya, selalu saja kau menanyakan apakah aku sudah makan atau belum padahal aku tahu perutmu sedari tadi meminta nasi. Kapan kau akan menyayangi dirimu sepenuh hati? Cukuplah saja kau menyayangi diriku yang tidak tahu diri ini.

Aku menangis, itulah tangisan pertama yang aku perlihatkan padamu. Kau dan aku menangis dalam ruang kehampaan, meluluhlah rindu yang membatu didalam hati kita. Aku mendatangimu yang sedang bersujud pada Tuhan, kali ini, aku perlihatkan ketidakpberdayaanku pada dirimu. Aku sedang sakit, aku mengadu padamu jika mamah papah akan berpisah, aku merengek padamu bagaimana nanti hidupku jika mamah dan papah berpisah? Tapi jawabmu hanya tersenyum, memelukku, dan mengusap ujung kepala seolah meyakinkan aku kalau aku tidak akan sendiri masih ada kau disisiku. Aku berhenti menangis, kuciumi punggung tanganmu untuk pertama kalinya. Ku peluk dirimu, ku peluk erat. Takkan aku lepaskan.

Dan lagi, selalu saja kau yang mengkhawatirkan diriku. Disaat penyakitku kambuh, penyakit yang membuatku terkadang tak bisa sampai berjalan. Kau yang merasa paling sakit ketika penyakitku datang bersemayam sebentar, kau merapalkan doa-doa pada Tuhan agar aku segera sembuh dan kau meminta untuk memindahkan penyakitku padamu. Bagaimana bisa kau meminta hal itu pada Tuhan sedangkan tubuhmu sendiri menderita, kau bahkan sudah kehilangan paru-parumu sebelah. Tapi kau rela membiarkan dirimu sakit demi diriku agar selalu hangat.

Malam itu, takdir datang tanpa sepatah kata, mengucap salampun tidak. Kau sudah sampai pada umurmu, kau dijemput maut dan memintamu untuk menghadap Tuhan. Aku tak bisa mencegahnya, diujung umurmu kau masih saja memperlihatkan cintamu yang besar kau memegang tanganku sangat erat. Kau berbisik padaku “jaga dirimu baik-baik, setelah aku didalam keranda itu berarti aku telah tiada, bawalah doa ketika kau mengunjungi makamku”. Aku tak bisa menahan kau, aku tak pandai membujuk Tuhan, kau telah pergi meninggalkanku, kau pergi, kau mati, dan aku sendiri.

Kututup pintu kamarmu dengan air yang terjatuh dari sudut netraku, ku pandangi setiap sudut rumah dimana kita pernah bersama. Dinding dingin diantara kita kini menghangat, tak ada lagi hati yang keras, semua telah melunak. Ruang tamu tempat kau menunggu pulangku masih sama seperti dulu, semerbak wangi tubuhmu kucium, rupanya kau tengah duduk di sudut kursi itu dan tersenyum padaku. Ah rasanya sakit sekali membayangkan kenangan kita dulu, tergores hatiku saat senyummu melintas dihatiku. Kau ternyata sudah tiada, namun rinduku padamu masih bersemayam, rindu yang berbau mawar. Aku selalu merapal semoga kau senantiasa bahagia disana, kakek. 


Penulis : Dina Maulida Agustin

Editor : Dede


Baca Juga

Post a Comment

0 Comments

close
close
close