Recent Tube

Mendengarkan Megaswara 89.8 Fm

[Cerpen] Sang Pemburu Edelweiss

For mania mega:


Terima kasih telah ada disaat aku susah sekalipun. Kupersembahkan bunga edelweiss ini untukmu, bunga keabadian. Entah kenapa aku sangat antusias saat mendaki gunung, selain karena misi memetik edelweiss untukmu, aku merasa ada hal lain...

~

Awan putih dengan matahari yang bersinar tidak begitu terik nampaknya cocok untuk menenangkan diri di taman yang bertebaran bunga cantik nan indah. Di bangku panjang taman tersebut ada seorang wanita dengan rambut diikat sedang duduk menyendiri. Semilir angin menerpa wajah cantiknya.  

Jika ditelisik lebih dalam, maniknya memancarkan sorot kesenduan yang begitu kentara. Hamparan bunga indah di hadapannya tidak mampu membuat hatinya berbunga, getap saja ia merasakan kesedihan. Mata bulatnya terlihat berusaha menyembunyikan kegelisahan hati yang tengah dialami.

 “Jangan berharap lebih Tisha… Jalan kehidupan tidak akan selalu berjalan sesuai keinginanmu.” Ia bermonolog untuk menguatkan dirinya dari sakitnya cinta tak terbalaskan.

~  

Di rumahnya, pemuda berambut hitam legam itu tengah berdiri dengan berpegangan pada pembatas balkon. Matanya tampak menerawang lurus ke depan. Sampai akhirnya seorang pemuda lain menghampirinya.

“Kenapa lagi, Al?” tanya pemuda tadi kepada Albar. 

“Vi, kapan kita mendaki gunung? Kau kelamaan cari waktu yang tepatnya,” ujar Albar memprotes pemuda disampingnya, Ravi yang tak lain adalah sepupunya.

“Dua minggu lagi. Kenapa sih harus mendaki gunung segala? Kamu itu bisa buktikan dengan cara lain. Jangan paksakan tubuhmu Al.” Ravi memberikan nasihatnya.

Mimik Albar tiba-tiba berubah dan ia beranjak menuju kamar. Di kamarnya kini Albar sedang memegangi selembar foto wanita cantik yang tersenyum begitu manis. Ternyata wanita itu adalah Tisha yang tadi muncul di awal cerita ini.  

“Maaf telah menyakitimu… Aku akan segera mengatakannya padamu,” ujarnya seolah sedang bicara dengan sosok Tisha.  

Mungkin kalian penasaran dengan sosok Albar ini. Sedikit deskripsi tentangnya, ia adalah seorang pria berusia 20 tahun yang tercatat sebagai mahasiswa fakultas seni di salah satu universitas terbaik di Indonesia. Ia memiliki wajah tampan dan postur ideal yang pastinya akan membuat banyak hati wanita terpikat padanya. Namun, Albar ini belum punya pasangan kekasih. Dulu ia sempat berganti-ganti pasangan hingga akhirnya ia memilih untuk sendiri. Sebetulnya ia agak naif.  

~  

Pagi ini Albar sedang berjalan menuju kelas dengan langkah santainya. Saat sudah tiba di kelasnya, Tisha menghampirinya. Sangat kebetulan karena mereka ini sekelas.

“Maaf Al, apa kamu sudah buat konsep wawancara dengan narasumber itu?” Tisha menanyakan tugas kelompoknya pada Albar. Mereka memang diberikan tugas kelompok oleh dosennya.  

“Sudah.” Albar menjawab sangat singkat.

“Berarti..” ucapan Tisha terhenti saat Albar dengan cepat memotongnya.

“Diamlah!” ujar Albar dengan nada tidak bersahabat. Tisha yang mendengar perkataan itupun bungkam. Ia memilih kembali ke tempat duduknya.

Karena kelas belum dimulai, pikirannya menerawang ke masa lalu dimana dirinya dan Albar masih akrab. Sebetulnya mereka berdua ini adalah sahabat sejak kecil hingga seiring berjalannya waktu akhirnya benih-benih cinta itu tumbuh di hati Tisha. Namun ia berusaha menyembunyikan perasaannya dari Albar, ia tak ingin perasaan tersebut merusak persahabatannya. Hingga suatu saat Albar mengetahuinya ketika tidak sengaja mendengar ia yang sedang bercerita pada sahabatnya.

Albar merasakan ada euforia di hatinya tapi ia merasakan kegusaran yang sama besar. Entahlah… Ia tak bisa mendeskripsikannya. Sejak itulah Albar selalu menjaga jarak darinya, persahabatannya rusak. Ketakutan Tisha benar-benar terjadi.

~  

Di sebuah kafetaria kini Albar bersama sepupu dan kedua sahabatnya sedang berdiskusi.

“Vi, tampaknya gunung yang bakal kita daki minggu depan itu tantangannya lebih banyak dari yang sebelum-sebelumnya,” ujar Zidan.

“Iya Zid. Udah pernah baca juga gunung Ciremai ini medannya cukup berat dan ya… sedikit angker.” Ravi menyetujui perkataan sahabatnya.

“Jadi gimana Al? Mau tetep ikut. Tubuhmu gimana nantinya?” tanya Haris.

“Autoimun kan maksudmu Ris? Aku bakal kuat. Meskipun ini pertama kalinya aku naik gunung, tapi ya Insya Allah aku bakal kuat. Aku kan punya misi khusus.” Albar berucap dengan begitu yakin pada ketiga orang di hadapannya. Berusaha meyakinkan mereka bahwa dirinya akan baik-baik saja.

Autoimun, suatu penyakit yang menyerang sel-sel sehat dalam tubuh. Albar adalah salah satu penderita penyakit ini. Orang-orang terdekatnya tahu, termasuk Tisha. Sebetulnya ia tidak boleh kelelahan apalagi melakukan aktivitas yang berat. Tapi ia tergolong nekat ingin mendaki gunung yang tentunya akan sangat melelahkan. Bukan Albar namanya kalau tidak keras kepala, ia melakukan ini karena misi khususnya. Apa itu?

Memetik bunga edelweiss yang identik dengan keabadian untuk Tisha. Ya, ia mencintai Tisha dan alasan sikap dinginnya pada Tisha ini adalah karena ia takut jika Tisha akan bersikap seperti wanita lain, meninggalkannya saat ia lemah. Namun tidak dengan Tisha, gadis cantik itu terus memperhatikannya meski ia selalu bersikap ketus. Hingga akhirnya Albar bertekad untuk membuktikan cintanya pada Tisha dengan memberikan bunga edelweiss untuknya. Naif memang.

~  

Albar tengah memperhatikan Tisha yang sedang berinteraksi dengan sahabatnya, Hanna. Dapat dilihatnya sang pujaan hati yang sesekali tertawa lebar. Hatinya ikut menghangat saat melihat senyuman itu. Karena di dekat Tisha ada Zidan, ia pun menghampiri Zidan. Katakanlah dia sedang modus.

“Zid, persiapan buat besok sudah rampung, kita tinggal berangkat saja kan?” tanya nya pura-pura. Sementara Zidan yang sudah mengerti pun mengikuti permainan Albar.  

“Iya Al. Kau harus persiapan segalanya. Ciremai tidak seindah di pikiranmu,”

Tisha mendengar semuanya. Ia langsung melihat Zidan dan Albar. 

  “Kalian mau muncak ke gunung Ciremai?”  

 “Iya. Lusa kami berangkat,” jawab Albar.

Tisha menatap Albar khawatir. Ia tahu betul kondisi Albar seperti apa. Ia mencoba melarangnya.  

“Al, apa kamu yakin mau muncak? Apa kamu gak khawatir sama kesehatanmu?”  

“Aku pasti kuat. Zid, ayo kita kesana.” Albar menarik Zidan untuk menjauh. Ia hanya tak ingin mendengar larangan dari Tisha, terlebih menatap maniknya yang berkaca-kaca. Itu sangat menyakitkan.

“Sha, jangan mengkhawatirkannya berlebihan. Doakan saja dari sini agar dia bisa pulang kesini lagi dengan sehat” ujar Hanna.

~

Hari ini Albar dan ketiga rekannya sudah berada di kaki gunung Ciremai. Mental dan fisik mereka sudah siap untuk menaklukkan gunung tertinggi di Jawa Barat ini. Di antara mereka terlihat bahwa Albar lah yang paling bersemangat.

“Percepat langkah kalian guys… Kita harus tiba di puncak sebelum matahari terbenam.” Ia berjalan paling depan saking semangatnya.  

“Albar… Jangan terlalu buru-buru juga. Ingat tubuhmu!” ujar Ravi mengingatkan.

“Aku hanya ingin semangat dalam pendakian pertama dan terakhirku,” sahut Albar.

~

Beberapa jam berlalu kini mereka telah tiba di lahan yang terdapat hamparan bunga edelweiss. Mereka memandang takjub hamparan bunga cantik ini, Albar langsung mengambil kameranya untuk mengabadikan pemandangan ini.

“Aku harus memetik bunga ini,” ujar Albar sebelum memulai aksinya. Sebetulnya hal ini sebaiknya tidak dilakukan, tapi karena ini adalah misinya jadi Albar berhasil memetik bunga langka ini. Bahkan sebelum mendaki, ia lebih dulu meminta izin pada pengelola Taman Nasional Gunung Ciremai untuk memetik bunga itu. Setelah bernegosiasi dengan cukup alot akhirnya ia mendapatkan izin,  

“Al udah jangan banyak-banyak!” ucap Haris menginterupsi kegiatan memetiknya.

“Ehehee iya.. Ya udah ayo kita jalan lagi.” Albar segera memasukkan bunga tersebut ke dalam tasnya dengan sangat hati-hati. Ia tak ingin bunga itu rusak sedikitpun saat telah tiba di Bandung nanti.

~  

Jika Albar sedag semangat-semangatnya mendaki gunung, maka hal itu berbanding terbalik dengan Tisha yang tengah murung di rumahnya.

“Sha, soal Albar lagi ya? Kenapa?” tanya sang ibu menyadari ada yang tidak beres dari ekspresi wajah anak semata wayangnya.  

“Albar muncak ke gunung Ciremai, Ma. Tisha takut dia kenapa-kenapa.” Tisha menjawab pertanyaan sang ibu dengan sangat jujur.

“Doakan saja ya nak. Allah melindunginya.” Wanita paruh baya itu mengelus rambut sang anak.

~

“Whoaaahhh…. Pemandangannya bagus sekaliii!” teriak Albar begitu hebohnya saat melihat matahari terbit.

Ya, sekelompok pemuda ini sudah tiba di puncak jam 5 sore kemarin kemudian mereka mendirikan tenda di puncak. Rencananya mereka akan turun pukul 7, itu artinya sekitar dua jam lagi. Sejak kemarin Albar lah yang paling heboh di antara yang lain. Wajar lah dia kan baru pertama kalinya mendaki gunung.

“Ehh sebentar ya, aku tinggal dulu,” ucap Albar sebelum meninggalkan temannya ke dalam tenda.

“Mau ngapain Al?” tanya Zidan.

“Kepo!” sahut Albar mencibir.

“Anak itu begitu excited. Dia berhasil bawa bunga itu buat Tisha,” ujar Ravi tersenyum kagum.

“Bahkan gak kelihatan lelah sedikitpun. Biasanya walaupun cuma lari dia pasti sangat terlihat lelah.” Haris merasa jika Albar ini tidak seperti biasanya.

“Allah maha adil, ia memberikan kemudahan buat hamba-Nya yang berusaha keras.” Zidan berkata demikian bermaksud bahwa apapun yang terjadi itu adalah atas izin dari sang Maha Kuasa.

~

Keesokan harinya Albar telah tiba di Bandung. Kini ia sedang berada di kamarnya merebahkan tubuhnya yang terasa lelah. Bagaimana tidak lelah, perjalanan selama tiga hari ditambah mendaki gunung tentu saja sangat melelahkan. Di tangannya ada secarik kertas berisi tulisannya, ia menatap kertas tersebut dengan pandangan yang sukar diartikan. Entah mengapa tiba-tiba matanya mengeluarkan cairan Kristal yang berharga.

~

Langit biru perlahan mulai menjingga. Di suatu tempat terdapat sepasang anak adam yang tengah menikmati suasana senja yang menenangkan. Tidak ada yang mereka bicarakan, 10 menit hanya diselimuti keheningan.

“Bagaimana pendakianmu kemarin?” tanya Tisha memecah keheningan

“Sangat lancar. Oh iya, ini… Aku persembahkan untukmu.” Albar mengambil sesuatu yang sejak tadi disimpan di belakang punggungnya. Seikat bunga edelweiss.

Tisha tampak terkejut melihat bunga tersebut.

“Maaf Sha, selama ini aku membohongi diriku sendiri dengan bersikap begitu dingin. Padahal lubuk hatiku juga merasakan perasaan yang sama, aku cinta kamu Sha. Aku melakukan ini karena takut kalau kamu seperti perempuan lain yang akan meninggalkan aku dalam keadaan lemah.”

“Tapi kamu beda Sha, kamu tidak seperti wanita yang pernah singgah dalam hidupku. Maafkan aku. Sha, aku bertekad untuk mendaki gunung dan memetik bunga ini untukmu sebagai bukti bahwa cintaku ini abadi. Jadi Sha, bisakah kau menjadi kekasih hidupku?” setiap kata yang Albar ucapan itu begitu terdengar tulus dari hatinya, sangat manis dan romantis.

Tisha menangis terharu tidak menyangka jika sosok di hadapannya bisa begitu romantis.

“Iya Al, aku bisa. Aku mau.” Tisha mengambil bunga tersebut dari Albar.

Kedua insan ini berpegangan tangan erat menyalurkan perasaan cinta dan kasih sayang satu sama lain dengan suasana senja yang mengiringinya. Kedua mata mereka saling memancarkan sinar cinta yang begitu terang.

~

“Sha, abis ini langsung tidur ya. Maaf kita mainnya kelamaan, eumm besok kalau aku tidur jangan bangunin aku ya, kan aku lelah hehee,” ujar Albar sedikit bercanda.

“Ih kamu… Iya aku gak bakal bangunin kok, ya udah aku masuk ya..”

“Ehh Sha, bunganya tolong dijaga ya… Aku pulang sekarang.” Albar mulai menyalakan mesin motornya.

Sebelum benar-benar pergi, ia melambaikan tangan dan tersenyum begitu manis pada sang pujaan hati. Tisha menatap kepergiannya sampai punggung itu benar-benar tidak terlihat. Ia alihkan pandangannya pada seikat edelweiss di tangannya. Hatinya sedikit bergetar kali ini.

“Eternal love…”

~

Pagi yang cerah seharusnya diawali juga dengan senyum yang cerah. Namun, hal itu tidak berlaku di kediaman Albar. Yang terjadi disana adalah duka cita, mengapa? Selepas shubuh, mereka dikejutkan oleh Albar yang ditemukan tidak berdaya di kamarnya. Kemungkinan besar ia meregang nyawa saat sedang tidur. Sang kakak dan sepupunya tahu jika ia bisa meninggal kapan saja karena autoimun yang di deritanya. Tapi tetap saja rasa sakit itu mereka alami. Terlebih untuk Tisha, ia baru berpisah pukul 9 malam tadi, tapi pagi ini ia harus menyaksikan sang pangeran hatinya telah tertutup oleh kain putih.

“Sha, yang sabar ya… Prosesi pemakaman akan segera dilaksanakan,” ujar Alda menepuk bahu Tisha yang bergetar karena tangisan.

Tisha tidak mampu berkata-kata. Hatinya terlalu sakit.

~

Pemakaman telah usai. Beberapa orang masih berada di sekitar gundukan tanah yang masih basah itu. Telihat jika Tisha masih setia meneteskan air matanya.

“Al… Kenapa harus berakhir begini? Tapi aku akan berusaha mengikhlaskanmu. Aku tepati janji aku semalam untuk tidak membangunkanmu saat kau tidur, kan? Yang tenang ya.. Aku akan selalu mendoakanmu.”

~

Untuk Tisha, wanita yang aku cintai…

Maafkan atas sikapku selama ini Sha…. Terima kasih telah ada disaat aku susah sekalipun. Kupersembahkan bunga edelweiss ini untukmu, bunga keabadian. Entah kenapa aku sangat antusias saat mendaki gunung, selain karena misi memetik edelweiss untukmu, aku merasa ada hal lain. Apa mungkin aku akan meninggalkan dunia ini? Jika sampai hal itu terjadi maafkan aku yang lagi-lagi membuat mata indahmu menangis.

Yang harus kau tahu, aku sangat mencintaimu. Dan semoga cinta kita akan abadi seperti bunga edelweiss ini. Semoga harimu selalu bahagia, sayang…

Itulah isi surat yang Tisha baca. Albar menulis surat itu saat berada di puncak gunung. Air mata kembali mengalir di pipinya dan edelweiss itu pun masih setia di pegangnya.

“Aku akan berusaha mengikhlaskanmu meskipun ini sangat menyakitkan. Semoga kau tenang. Aku juga mencintaimu...” Tisha bermonolog. Ia sudah berusaha untuk mengikhlaskan pujaan hatinya yang telah bepulang ke pangkuan sang ilahi.

Inilah akhir kisah dari Sang Pemburu Edelweiss yang manis namun berakhir tragis. Dia memang kini tinggal nama, tapi kisahnya akan abadi. Seabadi bunga edelweiss…

_________

Penulis : Yenni Rachmawati (siswa kelas XII Multimedia SMK Pertiwi Cilimus)

Editor : Dede


Baca Juga

Post a Comment

2 Comments

  1. Kak editor terima kasih banyak sudah dimuat disini sekaligus dibikinkan blurb yg keren...

    ReplyDelete

close
close
close