“Aku hanya ingin, sekali saja bertemu dengan mereka lagi” Kakak menyeka buliran air hangat yang kini berhasil merembes deras keluar dari kedua kelopak matanya.
Angin malam di bulan April ini nampaknya sanggup mendinginkan hati yang sedang terbakar. Sesekali angin menggoyang daun dan ranting pohon rambutan, berisik, terdengar bagaikan suara rintik hujan. Tepat di sebuah rumah, seorang laki-laki berusia sudah tak begitu muda berselimutkan kain sarung, ia sedang duduk di ujung bangku sambil memeluk kedua lututnya yang kurus, bersandar di sebuah bupet kayu yang bagian tengahnya dibiarkan kosong.
Dari arah pintu, seorang pemuda berkaus putih nampak kebesaran, masuk, menghampiri laki-laki bersarung itu. Sambil memberikan bungkus plastik tipis berwarna biru padanya, ia kemudian duduk di bangku dekat jendela lalu menutup pintu yang tadi sempat terbuka.
“Terimakasih, Dik. Kakak, minum obat dulu” ujar laki-laki bersarung sedikit terbata-bata.
Ia membuka bungkusan obat yang baru saja dibeli Adiknya itu. Sang Adik membawakannya segelas air. Lalu diminumlah obat yang dipercayanya mampu menangkal segala penyakit itu, terlebih penyakit meriang yang sedang ia rasa.
“Besok, ada berapa orang yang ikut ke Jakarta?” tanya sang Kakak.
“Lima orang”
“Dosen ada yang ikut?”
Adik tak langsung menjawab.
“Kuliah beda dengan sekolah”
“Ohok ohok... Jadi?”
“Tidak ada yang ikut”
“Lho, lalu nanti yang bawa mobil siapa?”
Adik membereskan tumpukan buku di atas meja, di hadapannya “Ada, temanku yang dari Kuningan”
Kakak membenarkan posisi duduknya.
“Ohok ohok... Dia sudah biasa bawa mobil?”
Pintu yang sudah lapuk itu tiba-tiba terbuka, seketika udara malam menerobos masuk mendinginkan seisi ruangan. Adik segera menutupnya dengan menyelipkan selembar kain lap usang di pinggiran pintu. Ia kemudian melempar pandangan ke langit-langit ruangan, kearah bohlam kuning yang sedang menyala, kearah sarang laba-laba yang sempat bergoyang ditiup angin.
“Dik, tolong bereskan dulu kompresor sama oli bekas. Tadi lupa, belum sempat di bereskan”
Mendengar permintaan sang Kakak, Adik lalu keluar menuju bengkel di depan rumah. Seperti biasa sang Kakak selalu meninggalkan bengkelnya saat semuanya sudah rapi, semua peralatan sudah ada ditempatnya masing-masing, obeng, kunci pas, kunci shock, sudah ada di kotaknya.
Di depan rumah ada sebuah kompresor kecil dengan tabung berwarna oranye masih tergeletak dipojokan tiang, dan oli bekas berwarna hitam encer masih ada di wadah kaleng dekat tembok. Adik lalu membereskan semuanya. Oli bekas ia tiriskan ke dalam drum, sedang kompresor ia dorong dan ia masukan kedalam rumah. Adik kemudian duduk dibangkunya kembali, lalu ditutuplah pintu dengan menyelipkan kain lap di pinggirnya.
“Ohok ohok... Sudah Dik?” tanya sang Kakak.
“Sudah”
“Dingin sekali malam ini, kau sudah makan?”
“Sudah”
“Aku terlalu bersemangat kerja dua hari ini, proyek modifikasi motor milik Pak Dadang, lumayan ongkosnya, ohok ohok... cukup untuk melunasi biaya kuliahmu yang masih kurang”
“Soal itu jangan kau pikirkan”
“Kalau bukan aku yang memikirkannya, siapa lagi? ohok ohok...”
“Mau ku buatkan teh hangat?”
“Tidak usah, obatnya juga baru aku minum, belum terasa efeknya”
“Selama aku di Jakarta, bengkel tutup saja dulu. Perbanyak istirahat”
Kakak menarik kain sarung yang dipakainya itu sampai menyelimuti seluruh badan, kemudian merangkul kembali kedua lututnya sambil sedikit berbaring.
“Kau yakin besok akan pergi?” ujar sang Kakak kemudian.
“Lebih dari yakin. Persiapanku, aku rasa sudah cukup, tinggal melangkah menuju perlombaan besok di Jakarta. Memangnya ada apa?”
“Ohok ohok, tidak. Ingat jangan terlalu over. O iya, karya siapa puisinya?”
“Rendra”
“Oo, ohok ohok...”
Kakak yang setengah berbaring itu menatap ke bawah kolong meja. Ada sedikit retakan di lantai. Lalu terlihat tiga ekor semut hitam kecil masuk kedalamnya, disambut seekor semut berukuran lebih besar dimulut retakan.
“Jadi?” tanya sang Adik.
“Ohok ohok... Apa?”
“Boleh aku ke Jakarta?”
“Ohok ohok... Ohok ohok... Aku ke kamar mandi dulu, ohok ohok”
Dengan sedikit gemetar dia berdiri, lalu berjalan kearah kamar mandi. Dari sana sang Kakak terdengar batuk-batuk, sekali, dua kali, sampai tiga kali dengan suara yang cukup keras dan sangat menyakitkan, kemudian terdengarlah suara ludahan, diikuti suara siraman air.
Tak lama, si Kakak kembali lagi ke ruang depan.
“Ekhm... Tumben” kata Kakak sambil mengatur napas “Sudah tengah malam, air PAM belum menyala” Kakak kembali duduk di bangku dan menyandarkan tubuhnya di bupet kayu.
“Kran-nya sudah dibuka?” Tanya Adik.
“Sudah”
Adik kembali diam.
“Ngomong-ngomong, kau sudah melihat hasil modifikasi motor Pak Dadang belum? Masih belum selesai sih, tapi coba kau lihat, aku sedikit menambahkan beberapa bagian di sistem kelistrikannya, dan coba kau perhatikan shockbreaker bagian depannya, sedikit aku tinggikan. Sengaja, supaya mirip dengan motor trail”
“Sudah”
“Bagaimana menurutmu” ia kembali berbaring sambil menyelimuti seluruh badannya “Ada yang kurang? Atau ada yang berlebihan”
“Cukup”
“Aku masih ingat, waktu SMP dulu. Kau pernah minta dibelikan motor trail mini ke Ayah, sampai kau merengek guling-guling di depan rumah. Padahal, kau sendiri belum bisa naik motor waktu itu, ohok ohok... orang-orang, sampai khawatir melihatmu, Dik”
“Sudahlah”
“Siapa waktu itu, yang datang menenangkanmu? Sarah ya? Untung waktu itu, dia ke rumah, dan ajaibnya ketika bertemu dia, kau langsung terdiam, hehehe ohok ohok... Kemana dia sekarang? setelah kalian putus, jarang sekali aku bertemu dengannya ohok ohok... Kalian masih berteman, kan?”
“Iya”
Diluar rumah tiupan angin masih terdengar sangat kencang, seperti terjadi topan atau sejenisnya disana.
“Kau, benar-benar tidak suka bicara denganku ya Dik?” Kakak menatap penuh ke wajah lawan bicaranya itu “Bicaralah, ohok ohok...”
“Aku tadi bertanya”
“Yang mana? ohok ohok...”
Adik kembali menatap sarang laba-laba yang sedikit bergerak di langit-langit ruangan. Seekor laba-laba berwarna coklat terlihat sedang menyelimuti seekor nyamuk dengan jaringnya, tak jauh disampingnya, seekor nyamuk dengan ukuran lebih kecil baru saja hinggap di rumah sang maut.
Adik lalu menarik sebuah buku tipis berjudul ‘Balada Orang-orang Tercinta’ dari atas meja, kemudian ia membacanya. Kakak menegakkan dirinya kembali, berusaha duduk bersandar di bupet kayu.
“Oh iya, puisi karya siapa yang akan kau bacakan nanti?” tanya sang Kakak.
Adik diam tak merespon pertanyaan itu.
“Dik?”
“Rendra”
“Oo...”
“Astagaaa” bisik sang Adik, masih membaca.
“Kalau besok jadi berangkat, memangnya kau sudah punya bekal?”
Adik tak menjawab pertanyaan sang Kakak.
“Dik?”
“Sudah”
“Ohok ohok... Benar?”
“Lagi pula Kau tidak akan memberiku bekal bukan?”
“Jangan bilang begitu, ohok ohok... kau tahu sendiri sudah seminggu ini bengkel sepi. Untung saja, dua hari yang lalu, ada pak Dadang, dia berjanji akan memberiku ongkos lebih, jika bisa menyelesaikan motornya besok, ohok ohok... Tapi yaaah, ohok ohok... aku malah tumbang seperti ini”
“Jadi, besok aku boleh berangkat?”
Tiba-tiba, di kamar mandi terdengar suara kran air menyala.
“Nanti kita bicarakan lagi, ohok ohok... Kau dengar? Sepertinya air PAM sudah menyala, tolong kau ke kamar mandi dulu, pindah-pindahkan airnya”
Ditinggal sang Adik ke kamar mandi, Kakak kembali berbaring.
Suara angin di luar dan suara air di kamar mandi saling bergemuruh meramaikan suasana di malam itu.
Selepas dari kamar mandi, Adik melihat sang Kakak sedang berbaring sambil memejamkan matanya, wajahnya nampak pucat, dan badannya menggigil. Adik kembali duduk di bangku dekat jendela.
“Sudah tiga tahun...” ujar Kakak tiba-tiba. “Sudah tiga tahun kita ditinggal Ayah dan Ibu. Tiga tahun, aku meneruskan bengkel milik Ayah, dan tiga tahun, kau jadi mahasiswa, dan entah mengapa, sejak kejadian itu, aku tidak pernah mau, pergi ke Jakarta lagi”
“Jadi. Besok aku boleh berangkat?”
“Mungkin, banyak orang yang bilang, bahwa itu hanya kecelakaan biasa...” kata sang Kakak.
“Besok aku boleh berangkat?”
“Tapi kecelakaan yang bagaimana?”
“Hey!”
“Kecelakaan itu, Akulah penyebabnya!”
“Astaga!”
“Apa?”
“Besok bagaimana?”
“Apanya?”
“Tinggal bilang saja, boleh, tidak?”
“Aku takut kau kenapa-kenapa”
“Aku tidak memintamu membawa mobil itu besok!”
“Memang, ohok... ohok...”
“Kenapa kau ini? Tak seperti biasanya”
“Memang. Jadi kau tidak akan pergi?”
“Hah?”
“Karena aku bersikap aneh, jadi kau tidak akan pergi?”
“Astaga... hanya dua hari! tinggal selangkah lagi, aku malah tidak kau izinkan”
“Ohok... ohok... Aku sedang merindukan mereka Dik!”
“........”
“Ohok ohok... Ohok ohok...”
Mereka terdiam, senyap.
“Syaripudin!”
Kakak terhenyak, mendengar namanya disebut dengan penuh penekanan. Ia segera membenarkan posisi duduknya. Ia kemudian menghembuskan napas yang nampaknya amat sangat berat.
“Ohok ohok... Ohok ohok...”
Sebuah senyuman tipis dengan tatapan yang benar-benar sayu kini terpampang diwajahnya.
“...Kau belum makan dik, ohok ohok... Kau tak bisa membohongiku. Aku tadi membuka tudung saji dibelakang, dan disana semuanya masih saja utuh. Dari siang kau belum makan dik, ohok ohok...”
Adik membuang wajahnya, diam.
“Maafkan aku. Perasaanku sedang tak karuan seharian ini, entahlah” lanjut Kakak
Adik masih terdiam, wajahnya memerah nampak sedang menahan amarah.
“Sangat bersalahkah aku sampai adikku sendiri tidak mau bicara?” ujar sang Kakak.
“Ohok...ohok... Makan dulu” lanjutnya
Adik tak percaya ia telah diperolok oleh Kakaknya sendiri.
“Dik?”
“Diamlah!”
“Benar kau sudah makan?”
Adik benar-benar nampak kesal, tak menjawab.
“Makan apa? Kerupuk? Ohok ohok”
“Apa lagi?”
“Astaga... Ohok ohok... Kalau kau tak makan, sungguh besok aku tak akan membuatkanmu sarapan. Aku akan tidur pulas, biar kau besok kelaparan, ohok ohok”
Adik mengangkat keduan tangannya, memasang wajah kesal, pergi ke belakang.
Di atas meja hanya ada nasi, tempe goreng yang tinggal sepotong, dan semangkuk sambal kental berwarna agak hijau. Adik kemudian mengambil secentong nasi, sepotong tempe, dan sesendok sambal. Semuanya seketika sudah tak bersisa, bersih, tinggal semangkuk sambal sisa kemarin saja yang masih ada disana.
Adik kemudian makan, tak berapa lama ia mencuci piring yang telah digunakan kemudian ia pergi kembali ke depan. Angin musim kemarau kini tampak tak bergemuruh lagi.
“Kau jangan over kalau latihan, Dik” ujar sang Kakak, sambil mengelap kedua sudut matanya.
“Kau menangis?”
“Tidak, ohok ohok...” Kakak kemudian mengubah posisi duduknya.
“Kau tahu. Aku kira kau serius tadi” Adik lalu duduk dibangkunya kembali.
“Aku tidak bercanda”
“Aku sedang merindukan mereka” Kakak mencoba duduk kembali bersandar di bupet kayu. “Aku masih punya banyak kesalahan, pada mereka Dik, ohok ohok.... Aku ingin sekali membahagiakan mereka”
Adik terdiam.
“Tapi... Tak ada gunanya menyesali hidup. Hidup harus terus berlanjut. Inilah hidup. Hidup dan mati semuanya hal biasa, semuanya hanya tentang menerima dan menjalani, ohok ohok....”
Adik masih terdiam.
“Ohok... ohok... ohok ohok... Aku ke kamar mandi dulu, ohok ohok”
Dengan sedikit gemetar dia berdiri. Tak disangka adik kini membantunya, merangkulnya, lalu menuntunnya ke arah kamar mandi. Sekali lagi Kakak batuk-batuk disana mengeluarkan suara yang cukup keras dan amat sangat menyakitkan. Adik membantu memijati lehernya kemudian ia membantu menyiram apa yang diludahkan Kakak.
Tak lama, Kakak dan Adik kembali lagi ke ruang depan. Mereka duduk ditempatnya masing-masing.
“Aku hanya ingin, sekali saja bertemu dengan mereka lagi” Kakak menyeka buliran air hangat yang kini berhasil merembes deras keluar dari kedua kelopak matanya.
“Dan ketika aku tahu kau akan pergi ke Jakarta besok, tiba-tiba saja rinduku pada mereka semakin menjadi. Dan.... aku Merasa... aku Merasa, itu akan menjadi perjalanan yang amat sangat panjang”
“Aku hanya sebentar, mudah-mudahan semua berjalan sesuai rencana”
“Semoga”
”Semua persoalan di dunia ini, baik itu hidup-mati, seperti yang Kakak bilang, semuanya hal biasa”
Kakak tersenyum. Agak lama. Angin malam dan suara air di kamar mandi kini mengalun seirama terdengar seperti suara gerimis di hutan tropis, seperti suara pukulan gending bali, dan petikan kecapi orang-orang sunda. Tenang, nan menenangkan hati.
“Silakan, pergilah Dik. Berikan yang terbaik” ujar sang Kakak.
Adik kemudian membereskan buku kumpulan puisi di atas mejanya itu.
“Jarang sekali, kita bisa bicara seperti ini. Malam ini, kita jadi saudara, ohok ohok...” lanjut sang Kakak sambil terkekeh disela-sela batuknya.
***
Waktu terus berlalu, jam dinding yang disenderkan di bupet kayu telah menunjukan pukul 02.10. Adik lalu pergi ke kamarnya, meninggalkan sang Kakak yang masih berbaring karena belum mengantuk di ruang depan. Dari kamar, terdengar suara sang Kakak, batuk, sekali, dua kali, dan sangat menyakitkan. Tak lama kemudian kran air terdengar ditutup dan suasana hening pun segera menyelimuti malam itu.
Di malam itu, tepat jam dua belas malam, sang Kakak bersama Ayah dan Ibu hendak pergi ke Jakarta. Kakak bersikeras ingin mengendarai mobil Kijang yang baru saja di perbaiki sang Ayah.
“Ingat jangan terlalu over” kata sang Ayah.
“Uh, percayalah padaku yah” jawab Kakak.
Ayah nampak ragu, namun karena sang Kakak memaksa, akhirnya diberikanlah kunci mobil yang sudah tua itu.
Disepanjang perjalanan semuanya berjalan dengan lancar, Kakak cukup bisa mengontrol laju kendaraan. Walau dia kadang suka sedikit-sedikit kebut ketika menyalip kendaran lain.
Semuanya berjalan dengan semestinya.
Ketika mobil telah memasuki jalan Tol, Kakak merasakan ada sesuatu yang tidak beres, dirasainya laju mobil semenjak masuk Tol tidak pernah melambat, kemudian di ceknya pedal rem dibawah, dan ternyata rem mobil blong!
Ajaib, sebuah sedan hitam yang terus berada di depan mereka tiba-tiba mengurangi kecepatannya, dan berhenti secara mendadak. Melihat hal itu, Kakak panik, dibantinglah stir ke arah kanan jalan. Naas, mobil Kijang yang sedang berjalan cepat itu seketika ditabrak kontainer dari arah belakang. Mobil terbalik, berguling, dan dihantam kembali truk pengangkut pasir sampai terseret ke parit dan masuk ke jalur berlawanan.
Hanya beberapa saat saja mobil tua itu sudah tak berbentuk lagi, kaca depan telah pecah, badan mobil hampir terbelah, asap hitam langsung mengepul dari dalam kap mobil. Lampu bagian depan yang pecah berkedip, lalu terdengar ramai suara klakson dari pengendara lain yang mengelilingi ketiga kendaraan yang sudah tak bergerak itu.
Kecelakaan masal telah terjadi di sebuah Tol arah Kuningan-Jakarta.
Dalam gelapnya suasana malam, Adik yang masih memakai sabuk pengaman itu, dengan segera memeriksa tubuhnya, tubuhnya tak bisa bergerak, ada beberapa batangan besi yang menghimpit kaki dan tangannya, pecahan kaca nampak menancap di permukaan wajahnya, dan alangkah terkejutnya ia ketika sadar bahwa yang mengendarai mobil itu ternyata dia, bukan sang Kakak. Adik melihat ke arah samping, kursi yang ditempati Ayah telah kosong, dan ia pun tak melihat Ibu, ketika melihat ke arah belakang ia melihat samar bayangan hitam, duduk berselimut kain sarung, tiba-tiba tersenyum kearahnya. Kemudian “Ohok... ohok”.
“Astaga!”
Adik membuka kedua matanya, menggosoknya perlahan, kemudian memerhatikan segala sesuatu disekitarnya, kondisi kamarnya nampak normal.
“Astaga, mimpi buruk”
Bulir-bulir keringat nampak merembes dan keluar dari dahi dan lehernya. Adik lalu keluar dari kamar.
Hawa dingin dan udara pagi pun segera mengerubunginya. Satu-satunya jam dinding yang ada di rumah itu telah menunjukan pukul 05.05. Ia pergi ke kamar mandi, di lantai ia melihat bercak merah berbusa dan berlendir, tanpa berpikir lama Adik lalu menyiramnya.
Saat kembali ke kamar, Adik melihat pintu kamar sang Kakak sedikit terbuka. Dari celah pintu kamar, ia melihat Kakak sedang berbaring di lantai, masih mengenakan sarung. Adik masuk ke kamar. Ketika pintu dibuka, nampak ia sedang meringkuk jelas di bawah sajadah hijau kesukaannya, lengkap dengan sarung yang masih menutupi pinggang sampai ke ujung kaki.
Tiba-tiba Adik terdiam, kedua matanya nampak membesar.
“Kak?” bisik sang Adik sambil meraba tangannya.
“Astaga... Kakak!” ia menggucang-guncang tubuh yang dirasainya dingin terkulai lemas itu. Wajah Kakak nampak pucat, bibirnya membiru seperti tak ada lagi darah mengalir ditubuhnya.
“Kakak! Bangun Kak!” Adik terus mengguncang-guncang. Namun tak ada respon, tubuhnya diam. Adik memeriksa semua tanda kehidupan padanya, nadi sang Kakak diam, dadanya pun tak berdetak.
Tak percaya, berulang kali ia melakukan hal itu, tapi tetap apa yang ia rasakan sama.
Tak hanya darah yang berhenti mengalir di tubuhnya, hal paling berharga yang mengisi raga itu pun telah sirna.
“Kakak!” Adik terduduk lemas, kedua matanya nampak berkaca-kaca, sambil terus meneriakan nama sang Kakak, ia terus mengguncang-guncangkan tubuh yang sudah tak berdaya itu.
“Kakak... Kakak!”
Adik merangkul, mengguncang, mendekap, namun tubuh itu memang telah purna.
Dalam sarung kotak-kotak berwarna hitam, wajah pucat itu nampak makin hilang cahayanya dan berganti dengan keteduhan.
“Kakak!”
Angin malam di bulan April ini sanggup mendinginkan hati mereka, para pencari damai.
_____
Penulis : Ibnu Kar'an
Editor : Dede
1 Comments
Mantap, ada plot twist nya
ReplyDelete