Recent Tube

Mendengarkan Megaswara 89.8 Fm

[Cerpen] Rektor Sang Creator

For mania mega:


...Dalam kekhusuan itu, pikiranku masih terngiang pada selembar kertas yang tertulis pada benih pohon Crealus L tersebut. “Tanaman jenis apakah itu? Nampak asing aku membacanya? Dari manakah asalnya?”

Pak Lajar. Sebutan kami mahasiswa kepadanya. Tiada hari tanpa kata Lajar di Universitas Beranijaya ini. Universitas yang kokoh berdiri, jaya melahirkan karya. Sejak kehadirannya di kampus ini, berbagai perubahan terjadi dalam berbagai sisi, khususnya “RUANG TATA HIJAU”.

Latarbelakang Pak Lajar yang seorang mahasiswa lulusan Ilmu Biologi di Great University Of Canada dengan predikat cumloud, rupanya telah menghidupkan kami dari kelayuan semangat pendidikan yang terjadi. Sejumlah mahasiswa telah tumbuh lebih cepat dari biasannya. Salah satunya aku.

Darmawan. Itulah nama yang kusandang saat ibu melahirkanku ke dunia. Aku merupakan anak dari Bapak Nurdi dan Ibu Nura, sebuah keluarga sederhana yang apa adanya. Aku merupakan anak satu-satunya dalam keluarga, kesepian telah akrab denganku. Tak ubahnya seorang Adam yang rindu akan obrolan dengan Hawa. Bahagia aku anggap mitos semata.

Perlahan kesepian itu telah pudar jadi kebahagian. Secercah cahaya aku temukan pada kampus Beranijaya, tepatnya sebagai mahasiswa tingkat 2, Progran Studi Sastra Indonesia. Hari-hari kuhabiskan untuk menulis. Menulis memang jadi hobiku setelah masuk kampus Beranijaya ini. Kata-kata bijak, kata-kata mutiara, dan kata-kata puitis adalah keahlian yang aku kuasai.

Meski... sikapku masih jauh dari kata bijak, amat hitam dari mutiara dan sama sekali tak ada nilai estetis yang bisa ku sebut puitis.

Namun, hal tersebut tak lantas membuatku goyah. Semangat dari sahabat dan prodiku yang amat tangguh telah membuatku jauh melangkah. Hari-hari kuisi dengan puisi. Pelbagai lomba cipta puisi aku ikuti, sebagai jalan memupuk diri.

Kemenangan dan kekalahan menjadi hal lumrah dalam kompetisi. Gaya kepenyairanku banyak dipengaruhi seorang SAPARDI DJOKO DAMONO, yang sederhana dalam mencipta makna. Gaya kepenyairannya seakan telah menjadi dogma akut dalam kepalaku dan mengakar jiwaku.

Cinta dalam diam adalah judul puisi pertama yang aku ikut sertakan dalam lomba. Diksi kubuat sederhana, namun indah pada maknanya. Puisi ini menceritakan tentang seorang wanita yang aku sangat cintai. Kamilah namanya. Aku mencintainya saat duduk di bangku SMU, saat kami masih abu-abu. Kini cinta kami sangat indah, bermekaran dalam pikiran dan perasaan. Selalu ada hitam dalam putih kasih, begitulah cintaku padanya. Pernikahan menjadi satu hulu yang sedang kami hendak capai dari hilir.

***

Sudah 1 minggu berlalu sejak pengiriman softfile karya puisiku, hari yang aku nanti-nantikan akhirnya tiba, suara kegiatan perlombaan mulai terdengar. Cemas dan gelisah itulah yang aku rasa. Sesekali aku bangkit optimis dan sesekali pula aku jatuh pesimis. 

Tepat pukul 15:30 di Aula kampus Beranijaya, panitia mengumumankan siapa saja pemenang lomba puisi tersebut. Namaku tidak terdengar sama sekali dari mulut panitia, rupanya Dewi Fortuna belum memihak padaku.

***

Ditempat berbeda dan waktu yang sama, Pak Lajar sebagai Rektor Universitas Beranijaya sedang mengadakan rapat pembahasan tentang 'Ruang Tata Hijau' bersama seluruh sivitas akademika beserta jajarannya.

Pak Lajar menginginkan kampus Beranijaya ini, menjadi kampus yang nyaman bagi para mahasiswanya belajar. Salah satunya dengan gerakan tanam benih pohon. Rencananya beliau akan mengintruksikan penanaman pohon di seluruh kawasan kampus yang gersang, tak terkecuali depan ruangan kelasku saat ini.

***

Pagi-pagi sekali, aku berangkat menuju kampus. Seperti biasa, motor ku kendarai dengan penuh kecepatan. Aku yang sering kesiangan, membuat perjalanan seperti lintasan balapan yang ku libas tanpa ampunan. 

Sesampainya di kampus motor kutitipkan pada satpam yang berjaga. Langkah kakiku melambat, ketika barisan benih pohon berjajar rapih sepanjang perjalanan menuju kelas. Pohon itu nampak muda dan seakan siap hidup lebih lama lagi. Daunnya berwarna hijau berbentuk hati dan batangnya hitam laksana kopi. Di setiap benih pohon tersebut, terdapat kertas putih bertuliskan Crealus L yang seakan ingin berkenalan dengan mataku yang puitis.

“Hai...siapa namamu?, maukah kau merawat dan membesarkanku?, bisakah kau buatkan sebait puisi untukku?” imajinasiku pada benih pohon berjajar itu.

Aku mulai memasuki ruang kelas, suara gaduh terdengar jelas dan aroma parfum pun menyeruak nafas. “Hai... Darmawan?, Apa kabarmu?” Ujar sahabatku Yansah.

“Aku baik-baik saja, kamu sendiri?” Ujarku.

“Baik, Alhamdulillah... Eh, Kamu ngerasa ada yang aneh gak sepanjang jalan tadi?” Ujar Yansah.

"Iyahhh... banyak benih pohon berjajar tadi. Ada apa gerangan?”Ujarku.

“Begini sahabatku, yang aku dengar Rektor Kampus kita akan mengadakan gerakan tanam pohon minggu-minggu ini…!”

“Wah... baguslah... nanti kampus kita makin adem, makin makin asik buat belajar” Ujarku.

Beberapa menit setelah perbincangan kami, dosen akhirnya masuk ke kelas. Segera kami belajar dan duduk memperhatiakannya. Dalam kekhusuan itu, pikiranku masih terngiang pada selembar kertas yang tertulis pada benih pohon Crealus L tersebut.

“Tanaman jenis apakah itu? Nampak asing aku membacanya? Dari manakah asalnya?” pikirku berbicara.

***

Matahari telah kembali kekandangnya, mega-mega turut ikut mengantarnya. Sudah waktunya para mahasiswa pulang, termasuk aku. 

***

Sesampainya dirumah, aku langsung membuka laptop dan berselancar maya internet, pikiranku selalu bermuara pada benih pohon Crealus L dikampus. Penasaran ku tak berhenti sampai bertemu, tetapi lebih dalam pada mencari tahu. Berjam-jam aku mencari, hasilnya nihil. Rasa penasaranku tak ubahnya kecanduan kopi, semakin tenggelam dalam rasanya, semakin tenggelam mencintainya.

***

Hari penanaman benih Crealus L dilakukan serentak oleh dosen beserta jajarannya, lingkungan kampus tampak riuh. Aku yang tengah berjalan menuju kelas kembali jatuh cinta pada pohon Crealus L tersebut. “Pohon yang sebentar lagi tumbuh di kampusku” Ujarku dalam hati. 

Kembali ku gores tinta pada secarik kertas, kurangkai kata jadi makna. Puisi kali ini mengisahkan benih pohon Crealus L sebagai tokohnya. Tidak sampai 10 menit, puisi tersebut telah selesai tergarap. Mading jadi pelampiasan karya-karyaku saat di kampus. Aku samarkan namaku jadi Darma Sastra. Itulah yang menyebabkan semua mahasiswa menganggapku biasa saja. Namun, tak sedikit orang mengetahui karyaku. Salah satunya Yansah. 

***

Semester 4 berlalu dengan cepat. Benih pohon Crealus L telah rimbun dan tinggi, batangnya besar dan akarnya menggeliat bagai ular sanca. Crealus L kini jadi bapak, bapak yang meneduhkan kami mahasiswa Universitas Branijaya. Setiap ku pandang pohon itu, ia seakan berbicara dan hendak mengundangku berteduh dengannya. 

Benar saja, aku jadi candu berteduh dengannya. Kata-kata seakan lahir dari kesejukan yang ia berikan. Berpuluh puisi telah berhasil kulahirkan selamat ke dunia ditempat ini. Mading kampus pun telah penuh sesak dengan karyaku.

***

Suatu sore saat aku menulis puisi dibawah pohon Crealus L, terdengar suara derap sepatu pantopel mendekati dari arah belakang tubuhku, langsung saja aku tersontak berdiri. Rupanya Pak Rektor tengah berdiri dibelakangku. Entah angin mana yang membawa ia datang kepadaku.

“Lagi apa toh sore-sore masih dikampus?” Ujar Pak Rektor.

“iiiinii... pak, lagi nuuuu... lis pupu...isiii pak” Ujarku terbata-bata.

“Wah bagus tuh..! hasil karyanya kamu kemanain???” Ujar Pak Rektor.

"Keee... ke... mading pak.” Ujarku.

“Ohhhhh... jadi kamu yang setiap hari banyak nempelin puisi di mading???” Ujar Pak Rektor.

Aku semakin menggigil ketakutan, merasa bersalah yang berlebih telah mengisi mading dengan puisi seenaknya.

“Ia Pak itu ulah saya... maaf Pak... maaf...”Ujarku dengan nada memohon. “Oalahhh... Iya enggak papa, yang penting berkarya dan berkarya toh???. Biar kampus kita makin Berani dan Jaya” Ujar Pak Rektor penuh semangat .

“Aduh pak maaf yah sekali lagi...” Ujarku.

“Iya... Kamu harus tangguh sebagai mahasiswa, tangguh sebagai manusia, dan tangguh dalam berkarya” Ujar Pak Rektor dengan semangat.

Lagi dan lagi kata berkarya itu aku serap dalam-dalam, akan kusimpan semangat beliau dalam tubuhku, mengakar dalam jiwaku dan dalam rerimbun daun puisi-puisiku.

***

Keesokan harinya, aku berangkat kekampus seperti biasa. Suasana kampus tidak seperti biasanya, berpuluh mobil terparkir semerawut, banyak orang asing bersua foto di bawah pohon Crealus L indah itu. Aku merasa aneh “Mengapa, mereka ramai-ramai bersua foto dengan pohon Crealus L itu?” Ujarku dalam hati. Langkah kaki kupergegas, waktunya jam masuk perkuliahan berlangsung.

***

Azan zuhur telah berkumandang, itu menandakan waktu jam perkuliahan telah usai. Segera ku bergegas pergi. Aku sudah tak sabar untuk memasang puisi karyaku siang ini. Puisi dengan judul “BERKARYA”, aku dedikasikan untuk Pak Rektor yang kemarin telah memotivasi semangatku.

Setibanya di depan mading, aku merasa kaget. Selembaran poster berjudul “CREALUS L”yang dibawahnya bertuliskan “LAJAR SANG PENEMU” terpampang jelas di mading . Aku sungguh tak menyangka kalau Pak Lajar adalah sang penemu tanaman Crealus L, meski ku tahu beliau mahasiswa lulusan Ilmu Biologi di Great University Of Canada. 

Aku merasa senang sekaligus amat bahagia melihat kabar itu. Aku bergegas kembali menuju kelas, aku gores kertas dengan tinta emas. Sebuah puisi untuk Pak Rektor akan segera lahir. “Besok, akan ku pampang puisi tersebut di Mading seluruh Fakultas” Ujarku dalam hati.

***

Pagi-pagi sekali, mading seluruh fakultas di kampus sudah kupampang puisiku. Puisi yang berjudul “REKTOR SANG CREATOR” mengisi indah mading-mading itu. Puisi rasa terimakasihku pada hasil temuanku denganmu Pak Rektor. 

{Bersambung}

Kuningan, 02 Juni 2018


Penulis : Albi S Darmawan

Editor : Dede


Baca Juga

Post a Comment

0 Comments

close