Recent Tube

Mendengarkan Megaswara 89.8 Fm

[Cerpen] Ki Dahlan Jadi Jutawan

For mania mega:


Suara kicau burung-burung kenari. Suara hembusan angin pagi yang menyejukan hati. Suara tukang sayur yang menjajakan dagangannya. Kini sudah tiada terdengar. Bukan karena telah tiada lagi burung-burung yang beterbangan. Angin yang tak lagi berhembus. Dan tukang sayur yang bangkrut tak berjualan lagi. Tetapi, karena suara-suara yang biasa didengar Mak Inah setiap pagi itu, telah tersamarkan oleh bisingnya suara musik yang diputar oleh tetangga barunya yang super kaya itu.

“Yuuuurr, sayuurr!” teriak Mang Kirman, si penjual sayuran. Dengan suaranya sudah serak dimakan usia, ia berteriak agar mampu melawan bisingnya suara musik dari rumah baru yang megah itu.

Mah Inah yang kebetulan sedang menyapu halaman depan rumahnya, mendengar teriakan Mang Kirman yang sedang menawarkan dagangannya. Dengan berjalan sedikit membungkuk, Mak Inah masuk ke rumah biliknya itu untuk mengambil sekeping rupiah hasil upahnya kemarin memanen tomat di ladang juragan Basir yang terkenal dermawan dan suka memberi pekerjaan kepada orang yang sedang kesusahan. Kemudian ia bergegas menuju Mang Kirman yang sedang mendorong gerobak sayurnya.

“Sayuuuuurrr!” Teriak Mak Inah memanggil Mang Kirman sebelum jauh pergi.

“Kangkung masih ada Mang? Tempenya juga satu ada?” Tanya Mak Inah sesampainya di gerobak sayur Mang Kirman.

“Ohh, ada Mak.” Singkat Mang Kirman.

“Yaudah Mak ambil kangkungnya satu sama tempenya satu.” Lanjut Mak Inah sembari menyodorkan uang seribu lima ratus rupiah.

“Iya Mak, terima kasih.” Kata Mang Kirman.

“Sebentar saya panggilkan Nak Bobi sama Nak Rahma, siapa tau mereka mau belanja juga.” Ujar Mak Inah sembari berjalan menuju rumah megah tetangga barunya itu. Meskipun ia tahu, Bobi dengan adiknya Rahma. Tak pernah mau berbelanja ditempat murahan. Padahal orang tua mereka baik juga dermawan. Pernah suatu hari, Mak Inah diberi oleh-oleh dari Jakarta ketika mereka pulang menengok kedua anaknya. Orang tua mereka selalu menanamkan kebajikan pada kedua anaknya. Harus saling menolong kepada sesama, terutama kepada tetangga-tetangga sekitar rumahnya.

“Nak Bobi,, Nak Rahma mau belanja sayuran tidak?” Teriak Mak Inah. “Nak Bobi,, Nak Rahma!” teriaknya sekali lagi lebih kencang, karena tersamarkan oleh suara musik yang sangat keras itu.

Setelah tidak ada jawaban sama sekali, Mak Inah langsung kembali ke Mang Kirman yang sedang menunggu bersama dengan gerobak sayurnya itu.

“Tidah ada yang nyahut Mang.” Ujar Mak Inah pada Mang Kirman.

“Iya Mak, terima kasih, permisi!” Jawabnya sembari mendorong gerobak sayurnya itu.

Mak Inah langsung kembali ke rumahnya. Kemudian ia menuju ke dapur. Di sana ia telah ditunggu oleh tungku api yang terbuat dari tanah liat dan wajan tua yang sudah gosong karena terbakar oleh tungku.

Di belakang dapur, Ki Dahlan, suami Mak Inah sedang mengasah golok. Ia biasa pergi ke kebun untuk mencari kayu bakar, untuk cadangan besok pagi istrinya memasak. Rehan, cucunya yang masih berusia lima tahun terkadang ikut dengan Ki Dahlan ke kebun.

Ibunya Rehan meninggal ketika melahirkan. Ia mengalami pendarahan yang luar biasa hingga nyawanya tidak dapat diselamatkan. Selepas ibunya meninggal, ayahnya langsung menikah lagi dengan gadis anak lurah tetangga desa. Kemudian merantau ke Jakarta dan tak kunjung menemui Rehan, anaknya. Hingga ia diurus oleh kakek dan neneknya yang amat menyayanginya.

Keluarga Ki Dahlan terkenal ramah dan peduli terhadap tetangga rumahnya. Meski hidup serba kekurangan. Mereka suka membantu orang dan tidak pernah mengharapkan imbalan apapun.

“Bu, bapak pergi ke kebun dulu, Rehan jangan lupa kasih makan.” Ujar Ki Dahlan.

“Iya pak,, ini ibu lagi masak sayur, bapak hati-hati perginya!” sahut Mak Inah dari dapur.

***

Hari sudah gelap. Ki Dahlan baru pulang bersama seikat besar kayu bakar yang didapatnya dari kebun. Ia tergopoh dan langsung duduk di teras belakang rumahnya. Dikipaskan olehnya topi yang dipakainya ketika pergi ke kebun.

“Bu,, ambilkan bapak minum.” Sahut Ki Dahlan.

“Iya pak, sebentar,” jawab Mak Inah dari dalam. “Bapak baru pulang,, ini minumnya pak!” Sambungnya sembari menyodorkan segelas air minum.

Mak Inah kemudian masuk kembali ke dalam rumah untuk menyiapkan makan malam untuk cucu dan suaminya. Sementara itu suaminya pergi ke jamban sederhana miliknya di belakang rumah, untuk membersihkan badannya.

Setelah semuanya rapi. Ki Dahlan memimpin keluarga kecilnnya itu untuk solat magrib berjamaah. Usai solat mereka makan malam dengan lauk seadanya, sayur kangkung dan tempe goreng yang dimasak Mak Inah tadi pagi. Ki Dahlan makan dengan lahapnya, karena tadi siang tidak membawa perbekalan makan untuk dibawa ke kebun.

Sementara itu, tetangga barunya. Dua orang anak remaja yang menghuni rumah megah itu. Sedang melahap berjejer makanan yang dibelinya di kota, di restoran. Ada sayur ikan kakap, daging rendang, iga bakar, dan aneka buah-buahan yang tidak pernah ada dalam hidangan di keluarga Ki Dahlan.

Semenjak kepindahannya sebulan yang lalu, Bobi beserta adiknya, Rahma. Tidak pernah bertegur sapa dengan siapa pun yang ada di lingkungan rumahnya. Menawarkan makanan pun tak pernah kepada keluarga Ki Dahlan, sebagai tetangga dekatnya.

Allahu akbar Allahu akbar,,,

Adzan Isya berkumandang. KI Dahlan bersama istri dan cucunya segera mengambil air wudhu. Kemudian seperti biasa ia memimpin keluarganya solat berjamaah. Sementara tetangganya, Bobi dengan adiknya terkapar tak berdaya.

***

Keesokan harinya. Tak seperti biasanya. Musik keras yang diputar dari rumah megah itu tak terdengar lagi. Hingga kicau burung, suara Mang Kirman yang sedang menjajakan sayurannya, kini terdengar jelas. Meski terdengar begitu merdu. Hati Mak Inah merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Namun Mak Inah tetap melanjutkan pekerjaannya yang dari tadi sedang menyapu halaman.

Menjelang siang Mak Inah semakin heran dengan rumah megah itu. Iya merasa seperti tidak ada kehidupan di rumah itu. Sepi. Tidak ada suara musik keras lagi. Ia memanggil suaminya lalu mengajaknya untuk memeriksa rumah itu. Semua pintu terkunci rapat. Lalu memutuskan supaya suaminya mendobrak pintu rumah itu. Baru satu kaki melangkah masuk. Mulut Mak Inah ternganga, melihat kedua kakak beradik itu sudah terkapar dengan mulut yang berbusa.

Suaminya pun kaget melihat hal itu. Ia langsung bergegas memanggil pak Ustad untuk segera mengurus jenazah itu.

“Sepertinya mereka keracunan makanan.” Gumamnya dalam hati Ki Dahlan sembari tergopoh berlari kecil menuju rumah pak Ustad.

Sesampainya di rumah pak Ustad. Ia langsung memberi tahu apa yang telah terjadi dengan tetangga barunya itu. Kemudian mereka berdua segera kembali ke rumah Bobi dan Rahma dengan menunggangi sepeda motor tua yang di miliki pak Ustad.

Sesampainya di sana. Sudah banyak warga yang berdatangan. Ingin melihat keadaan jenazah itu.

“Mampus luh,, dasar bocah tak tahu adab sopan santun!” Desis salah seorang warga.

Pak Ustad langsung mengurus jenazah kedua anak itu. Ia dibantu oleh beberapa warga yang masih peduli. Hingga proses pemakaman selesai.

Sementara itu, kedua orang tua jenazah Bobi dan Rahma baru datang dari Jakarta. Mereka tahu berita ini karena ada yang memberi kabar melalui ponselnya. Ia menangis, karena tidak sempat melihat kedua anaknya untuk yang terakhir kalinya.

***

Setelah tahlilan hari ke tujuh selesai. Keluarga Ki Dahlan diminta oleh kedua orang tua Bobi dan Rahma untuk tinggal dan mengurus rumah megah itu. Mereka sudah dianggap sebagai ayah dan ibu dari kedua orang tua Bobi. Selama di Jakarta, mereka selalu dikirimi uang untuk memenuhi kebutuhan rumahnya. Setiap bulannya, Ki Dahlan dan Mak Inah beserta cucunya itu selalu dibelikannya pakaian oleh kedua orang tua almarhum Bobi.

Sejak saat itu keluarga Ki Dahlan hidup serba kecukupan. Tetapi mereka selalu menyisihkan sebagian uang yang diterimanya dari Jakarta. Digunakan untuk membantu tetangga sekeliling rumahnya yang membutuhkan.


Penulis : Agung Sukma Wijaya

Editor : Dede


Baca Juga

Post a Comment

0 Comments

close