Sekarang sudah jam 10 malam. Artinya dia sudah terlambat satu jam untuk meneleponku hari ini. Iya, tadi sore tepat di depan gerbang sekolah, dengan wajah tersenyum namun nampak buru-buru, dia berujar akan meneleponku tepat jam 9 malam ini. Astaga, aku terlalu mengharapkan dia. Barangkali dia lupa atau bahkan tidak berniat meneleponku. Tapi kenapa dia tersenyum sore tadi. Seakan-akan dia memberiku sebuah kepastian. Kenapa aku selalu tak berdaya ketika berhadapan dengannya? Kenapa tadi aku tak bertanya saja, kenapa harus jam sembilan malam? Ada apa? Kenapa tidak sekarang saja? Tidak. Aku terlalu kikuk. Aku tak bisa bilang ‘tidak’ kalau dia sudah berjanji. Tapi sekarang sudah jam 10 malam, dia sudah terlambat satu jam untuk meneleponku.
Aku kenal dia. Sangat kenal. Dia bukan tipe orang yang tidak suka menepati janjinya. Dia laki-laki paling pantang membuat orang menunggu.
Apa harus aku saja yang meneleponnya? Tidak. Tidak. Pikiran konyol macam apa itu? sebagai seorang wanita aku tak harus jadi yang pertama menelepon seorang laki-laki. Dan lagi, posisiku ada di yang diberi janji. Aku tidak ingin dia berpikir bahwa aku mengharapkannya.
Tidak. Tidak akan. Tapi aku tahu dia laki-laki baik.
Kenapa pengharapan ini tiba-tiba saja berubah jadi kekhawatiran. Ada apa dengannya? Apakah sesuatu terjadi padanya? Satu pekan ini aku memang selalu melihat berita lakalantas di televisiku, apa jangan-jangan sepulang dari sekolah, dia? Tidak, aku jangan berpikiran aneh seperti itu.
Apa aku harus berhenti memikirkan ini? Biasanya sih sering berhasil. Aku alihkan perhatianku dulu pada hal-hal lain, membaca buku atau nonton youtube misal, dan dengan sendirinya aku akan terkejut ketika ada panggilan darinya dilayar ponselku. Setidaknya waktu tidak akan begitu terasa karenanya.
Namun pada akhirnya memikirkan cara agar bisa mengesampingkan panggilan darinya malah membuatku semakin memikirkannya.
Kira-kira apa yang akan dia bicarakan padaku? Kita berdua sudah satu minggu ini tidak saling bicara. Aku ingin sekali memulai bicara, tapi aku selalu merasa bahwa obrolan yang dimulai olehnya selalu menarik dan tidak membosankan.
Ada apa denganku ini? Semesta mohon gerakanlah dia. Dia yang sedang aku tunggu untuk menghidupkan ponselnya kemudian mengarahkan jarinya untuk menghubungiku. Aku hanya meminta hal sederhana saja, aku tidak ingin jadi putri kerajaan, aku tidak inginkan permadani terbang, tidak, aku hanya ingin perkara kecil.
Apa jangan-jangan Semesta sedang berkomplot dengannya dan sengaja berkonspirasi terhadapku, dan sengaja membuatku seperti ini? Terlalu banyak nonton film detektif aku ternyata. Tapi aku berjanji akan menjadi hamba Tuhan yang lebih baik lagi, oleh karena itu mohon percepatlah doaku ini.
Mungkin aku harus menyimpan ponselku ini agak jauh dariku, dan aku akan memerhatikannya sambil mencoba menghitung mundur, seperti bom waktu. Dari angka lima puluh rasanya cukup. Aku mulai...
lima puluh, empat puluh sembilan, empat puluh delapan, empat puluh tujuh, empat puluh enam, empat puluh lima, empat puluh empat, empat puluh tiga, empat puluh...
Tolonglah jangan sampai dia mengingkari janjinya.
‘Aku akan menelponmu jam sembilan malam’ itu yang dia katakan padaku, setelah seminggu tidak bicara. Kenapa dia tiba-tiba berkata seperti itu? Padahal aku juga tidak menginginkan dia bicara seperti itu. Untuk mencairkan suasana di depan gerbang tadi aku rasa cukup dengan mengatakan ‘hay’ atau ‘halo’ tapi kenapa dia memilih, dan tiba-tiba pula mengucapkan ‘Aku akan menelponmu jam sembilan malam’? Kenapa? Ada apa?
Tidak. Tidak. Tidak. Aku harus berhenti berpikiran jelek seperti ini. Coba dengar, seorang pemuda berjanji akan menelpon seorang gadis, dan jarak antara si pemuda dan si gadis tidak diketahui. Si gadis sedang ada di rumah di sebuah ruangan sedang berbaring dikamarnya, tidak ada alasan yang cukup membuat si gadis tidak menerima sebuah panggilan di ponselnya. Sedangkan si pemuda, entah ada dimana, didalam ruangan kah, atau diluar ruangan kah? Tidak ada yang tahu, ada badaikah, atau ada taufan kah di tempat si pemuda? juga tidak ada yang tahu. Nampak banyak sekali alasan kenapa dia tidak bisa menelepon si gadis. Badai? Taufan? Aaah... kenapa ponsel jelek ini masih belum berdering? Tolonglah, tak bisakah kau berdering? Memang sulit ya? Dasar benda sial, lihat saja aku akan membantingmu ke lantai, biar kamu tahu rasa!
Empat puluh dua, empat puluh satu, empat puluh...
Barangkali aku harus menyelesaikan hitunganku dulu.
Tiga puluh sembilan, tiga puluh delapan, tiga puluh tujuh...
Aku tidak akan curang Tuhan, aku berjanji akan menyelesaikan hitunganku, walaupun nanti tepat dihitungan dua puluh dia memanggilku. Aku akan tetap menyelesaikan hitungan ini, dan aku berjanji akan sebentar mengabaikannya.
Tiga puluh enam, tiga puluh lima, tiga puluh empat....
Seorang pemuda yang selama satu minggu tidak bicara dengan seorang gadis, tiba-tiba ingin bicara lewat ponsel, mungkin sedang merencanakan sesuatu. Mungkin saja dia pura-pura akan meneleponku. Namun yang sebenarnya malah dia akan memberikan kejutan dengan langsung datang kerumahku. Bisa jadi. Aku harus menghapus kesenduan diwajahku ini.
Laki-laki kadang tidak suka mendapati seorang wanita dalam kondisi sedih. Cengeng. Walau menurutku sebenarnya mereka sangat senang menghadapi wanita yang suka merajuk, dan manja dalam kelemahannya, dan cenderung malah tidak menyukai wanita yang tegar, dan berani.
Aneh memang, mereka itu keras kepala, sok tegar pula. Dasar, bisakah mereka merasakan kesedihan? Kuharap aku bisa membuatnya menangis, dan membuktikan pada dunia bahwa ketegarannya selama ini hanya pura-pura saja. Aku harap bisa membuatnya menangis sampai dia mencakar tembok dan lantai, merasakan jantungnya membengkak berat dan membusuk didalam dirinya. Aku harap bisa melukainya.
Tapi. Sudahlah.
Kenapa aku ini? Begitu bersalahkah aku di dunia ini, hanya karena hal sepele seperti ini aku merasakan pedihnya hidup yang amat sangat. Apakah dia juga merasakan kepedihanku saat ini?
Aku pesimis.
Kenapa kau tidak juga berdering ponsel jelek?
Apa harus aku saja yang meneleponnya? Jangan. Jangan sampai aku melakukannya. Tadi sore apa mungkin dia berkata ‘Telepon aku jam sembilan malam’? Apa aku yang salah dengar? Bagaimana kalau dia sekarang sedang menunggu panggilanku? Tidak. Tidak. Aku tidak mungkin salah dengar. Jelas sekali aku dengar ‘Aku akan meneleponmu jam sembilan malam’, tapi kemungkinan itu masih tetap ada. Sudahlah, jika dia lelaki dan memang tertarik padaku maka harus dia yang memulai. Lagi pula aku tidak tahu harus berkata apa jika aku meneleponnya ‘maaf, tadi kamu memintaku telepon jam sembilan ya?’ Uh, konyolnya.
.....................................................................................
Akhirnya.
Berdering!
Satu kali getaran.
Aku ambil ponsel yang dari tadi ku amati agak jauh itu.
Aku melihat tanda pemberitahuan, sepertinya sebuah pesan.
Aku buka ponselku, hati-hati, sangat hati-hati, aku baca secara perlahan.
‘low-
bat-
te-
ry’
Layar meredup.
.....................................................................................
Sudah lewat jam dua belas malam.
Apa harus aku saja yang meneleponnya?
Tiga puluh tiga, tiga puluh dua, tiga puluh satu....
Tuhan, lihat aku masih menghitung....
Tiga puluh, dua puluh sembilan, dua puluh delapan, dua puluh tujuh, dua puluh enam, dua puluh lima, dua puluh empat, dua puluh tiga, dua puluh dua, dua puluh satu, dua puluh...
1 Comments
Cerita belum berakhir bagi saya, ketika pencipta mati cerita itu akan berlanjut sebagaimana waktu berlalulalang dalam rotasinya semesta
ReplyDelete