Recent Tube

Mendengarkan Megaswara 89.8 Fm

Mengenal Dan Memahami Kembali Sosok KARTINI

For mania mega:




megaswarakuningan.com

Kartini, atau Raden Ajeng Kartini adalah tokoh pahlawan kemerdekaan nasional, yang memperjuangkan persamaan hak antar gender (emansipasi). Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Ia merupakan putri dari pasangan suami istri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara dan M. A Ngasirah Putri. Silsilah keluarga Kartini dapat ditelisik sampai ke Hamengkubuwana VI, bahkan terus menyambung ke keluarga kerajaan Majapahit.

Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara, baik kandung maupun tiri. Kakeknya Pangeran Ario IV merupakan bupati pertama yang memperkenalkan dan memberi pendidikan Eropa kepada anak-anaknya.

Sedangkan itu Kakak Kartini, Sosrokartono adalah seorang terpelajar dan pintar dalam ilmu bahasa. Melalui mereka berdualah pemikiran awal Kartini terbentuk. Sampai usia 12 tahun Kartini di perbolehkan mengenyam pendidikan di ELS (Europese Lagere School). Hanya sampai 12 tahun, karena setelah itu ia harus tinggal di rumah, dipingit.

Dari ELS dan Kakaknya Sosrokartono, Kartini mengenal dan banyak bergaul dengan pemikiran-pemikiran Eropa. Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief, buku-buku perjuangan seperti Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, De Stille Kraact (Kekuatan Gaib) karya Louis Cover, Van Eden karya Agusta De Wiitt, dan roman feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek serta Roman anti perang karangan Berta Van Suttner. Perlu diketahui Kartini membaca itu semua dalam bahasa Belanda.

Dari kebiasaan membaca pemikiran Eropa itulah, Kartini kemudian sering bertukar pikiran melalui surat dengan sahabat korespondensinya di Belanda. Melalui pertukaran ide tersebut Kartini banyak membahas dan membandingkan kondisi kaum perempuan di Hindia (Indonesia) dengan mereka di negeri seberang sana.

Selain soal emansipasi, dalam surat-surat tersebut Kartini juga sering membahas hal-hal lain seperti pendidikan secara umum, dan kemungkinan pemasaran pada hasil kerajinan khas, ukiran Jepara.

Kartini muda yang mempunyai semangat berpendidikan hendak melanjutkan studinya ke Belanda, namun niat tersebut terhalang oleh restu kedua orang tuanya.
Kemudian pada tahun 1903, di usia ke 24, Kartini dijodohkan dengan Bupati Rembang K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah memiliki 3 orang istri.

Setelah menikah sikap dan pemikiran Kartini perlahan melunak pada akhirnya ia dapat melihat sisi lain dari pernikahan. Perubahan sikap Kartini pun dilandasi oleh sikap sang Suami yang ikut memberikan kebebasan kepadanya, dan mendukung penuh untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang Kompleks kantor Kabupaten Rembang.

Satu tahun setelah pernikahannya, tepatnya beberapa hari setelah ia melahirkan, pada tahun 1904 kartini menghembuskan nafas terakhir. Kartini mewariskan gagasannya itu kepada kaum-kaum penggerak Bumiputera. Berkat kegigihan dan ketulusan hati Kartini, kemudian didirikanlah sekolah wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang dan di berbagai tempat 10 tahun setelah kematiannya. 

Semua gagasan dan pemikiran yang terdapat dalam surat-surat itu kemudian dikumpulkan dan dibukukan oleh, Mr. J.H. abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan di Hindia (Indonesia) pada saat itu. Ia merupakan suami dari Rosa Abendanon sahabat dekat Kartini. Kumpulan surat yang telah dibukukan tersebut kemudian diberi judul ‘Door Duisternis tot Licht’ (Kegelapan Menuju Cahaya). Pada masa Pujangga baru, tahun 1938 buku ini dialih bahasakan ke dalam bahasa Melayu oleh Armijn Pane, yang kemudian diberi judul ‘Habis gelap Terbitlah Terang’.

Walau begitu termasyhur, buah pikir Kartini ini tetap tidak luput dari kontroversi. Ada beberapa kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H. Abendanon yang mengumpulkan surat dan membukukan buah pikir Kartini itu telah merekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini muncul karena pada saat itu Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan tersebut sedang merealisasikan politik etis di Hindia.

Selain buah pikirnya, kematian Kartini pun menuai tanda tanya, kematian Kartini diduga telah telah direncanakan oleh pemerintah kolonial. Ia yang ketika mengandung dan melahirkan ada dalam kondisi sehat, tiba-tiba beberapa hari kemudian jatuh sakit dan meninggal. Hal ini dikarenakan beberapa hari setelah melahirkan, Kartini dikunjungi oleh dokter van Ravesten yang mengajaknya minum anggur sebagai salam perpisahan.

Terlepas dari beberapa kontroversi yang ada, Ia telah menginspirasi kaumnya, dan para bumiputera lainnya untuk dapat bersama memperjuangkan persamaan hak gender, dan memperjuangkan kemerdekaan nasional.

Pada tahun 1964, Presiden Sukarno mengeluarkan keputusan presiden dan menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar nasional.

Selamat hari Kartini!



(Dede)

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments

close