Hari
ini tanggal 3 Maret (2020), tepat 96 tahun yang lalu sebuah ideologi besar dihapuskan.
Sebuah pemerintahan monarki dengan kekuasaan hampir 1/3 dunia yang berkuasa 600
tahun lebih, akhirnya tumbang. Ideologi khilafah yang dianut Kesultanan Turki
Utsamani pada tanggal 3 Maret 1924 melalui revolusi ‘Kaum Muda Turki’
resmi dihapus dan diganti dengan ideologi demokrasi sekuler.
Revolusi yang
terjadi di Kesultanan Turki tersebut tentunya menghadapi berbagai pergolakan. Kaum
revolusi di Kesultanan Turki Utsmani dalam visinya seakan-akan terbagi kedalam
dua kubu,kelompok pertama nasionalis-orientalis yang menginginkan perubahan
konsep pemerintahan sampai dengan keakar-akarnya, dan kelompok kedua yaitu
ulama-agamawan yang menginginkan perubahan dan perbaikan tanpa merubah atau
mengganti fondasi pemerintahan. Tokoh sentral yang menjadi wajah pada kedua
kelompok tersebut adalah Musthafa Kemal Attaturk(nasionalis-orientalis), dan
Badiuzzaman Said Nursi (ulama-agamawan).
Badiuzzaman
Said Nursi, atau dalam bahasa Indonesianya ‘Sang Keajaiban Zaman’ Said
Nursi menjadi tokoh utama dalam novel sejarahApi Tauhid karya Habiburrahman
El Shirazydan akan banyak dibahas dalam resensi ini.
DATA
BUKU
· Judul
Buku : API TAUHID Cahaya
Keagungan Cinta Sang Mujaddid
· Pengarang : Habiburrahman El Shirazy(Kang
Abik)
· Penerbit : Republika
· Jenis
Buku : Novel Sejarah
· Tahun
Terbit : September 2017
· Cetakan : Cetakan ke-15
· Tebal
Buku : 587 halaman
· Harga
Buku : Rp. 76.000
Berkisah
tentang seorang pemuda, Fahmi yang sedang dirundung kegalauan akan hidup rumah
tangganya.Sebagai upaya menenangkan hati, Fahmi yang sedang menempuh studi di
Madinah bertekad mengkhatamkan Quran dengan jumlah khatam yang tak biasa.
Melihat sikap tak biasa yang ditunjukan Fahmi, beberapa kawannya pun akhirnya mengetahui
apa yangsedang dihadapinya.Mereka menasehati Fahmiagarjanganlarut dalam masalah.
Salah satu temannya yang bernama Hamza mengajak Fahmi untuk ikut menemaninya
pulang kampung ke Turki, sekadar menghirup udara di tempat yang baru. Dari
agenda inilah Fahmi mengenal sosok ulama besar Turki Badiuzzaman Said Nursidan
perjuangannya dalam membela tanah air dan menjaga fondasi Islam dalam
keangkuhan zaman modern. Dari sosok Badiuzzaman Said Nursi-lah Fahmi
mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini selalu
menghantuinya.
Novel
sejarah karya Kang Abik ini merupakan novel yang menurut Taufik Kasturi,
Ph.Dsebagainovel sejarah ‘pembangun jiwa’. Bagaimana tidak novel
dengan tebal 500 halaman lebih mampu menghadirkan kisah heroik dengan balutan
kisah romansa yang cukup menggambarkan sosok ulama besar Badiuzzaman Said Nursi
yang memperjuangkan prinsip keislaman di Turki dengan asas cinta terhadap tanah
air. Intisari dalam novel ini pada dasarnya terletak pada kisah Badiuzzaman,
namunKang Abikkemudian menghadirkan tokoh lain,Fahmi sebagai tokoh rekaan yang
banyak belajar dari kehidupan ‘Sang Keajaiban Zaman’.
Secara
garis besar novel ini berisikan 2 kisah, yaitu kisah Sang ulama Badiuzzaman,
dan kisah Fahmi. Formula penceritaan yang disusun Kang Abik dalam memadukan
kedua kisah ini adalah dengan menggunakan formula ‘cerita didalam cerita’.
Fahmi dan Hamza merupakan tokoh rekaan yang membuat kisah sejarah Badiuzzaman
bergulir. Fahmi digambarkan sebagai tokoh pembelajar yang amat penasaran dengan
kehidupan Badiuzzaman, sedangkan Hamza dibuat sebagai tokoh yang banyak menjelaskandan menceritakan sepak
terjangBadiuzzaman. Melalui tokoh Hamza-lah, Kang Abik seolah-olah hadir
menjadi ‘dalang’ dan menuturkan sejarahulama besar Badiuzzaman Said Nursi pada
para pembacanya.
Selain
formula ‘cerita didalam cerita’yang menghadirkan 2 buah kisah,
penceritaan dalam novel ini pun semakin kaya karena konsep traveling
yang dipakai Kang Abik ketika menggambarkan Fahmi yang sedang berkeliling di
kampung halaman Hamza, Turki. Dengan penggambaran yang disajikan Kang Abik kita
sebagai pembaca seolah-olah hadir di sudut-sudut kota Istanbul, masuk ke dalam
lorong masjid Aya Sofia, ikut bertadabur di musium Jalaluddin Rumi, dan ikut
merasakan betapa pahitnya kopi khas Turki di kedai kopi TahmisKahvesi. Semua
ini membuktikan bahwa Api Tauhid disusun berdasarkan riset yang sangat luar
biasa.
Sebagai
novel sejarah Api Tauhidmenghadirkan tokoh ulama Badiuzzaman Said Nursi
yang hidup di tengah-tengah revolusi Turki, dimana sang ulama beberapa kali
harus menghadapi pergolakan dan bertentangan dengan pemerintah hanya karena
memegang prinsip dan menginginkan Turki menjadi negari adidaya dan negeri yang
dihormati kembali.Dalam perjuangannya tersebutBadiuzzaman mesti keluar masuk
penjara dan pengasingan.
Pemerintahan
absolut yang segala sesuatunya harus berdasar pada titah sultan, pada akhirnya
membuat rakyatjemu. Selama 30 tahun lembaga perwakilan dibekukan, selama itu
pula rakyat memupuk ketidak sukaan terhadap sultan. Menjawab keresahan rakyat,
maka lahirlah dua kelompok yang menginginkan perubahan. Kelompok nasionalis dan
kelompok agamis. Kedua kelompok ini menginginkan kemajuan Turki dengan cara
yang berbeda. Kelompok pertama nasionalis menginginkan perubahan dalam setiap
segi pemerintahan, konsep pemerintahan, dan jika bisa sampai keakar-akarnya,
dan kelompok kedua yaitu agamis yang menginginkan perubahan dan perbaikan tanpa
merubah atau mengganti fondasi pemerintahan.
Walau
begitu kedua kelompok ini menyepakati bahwa pemerintahan yang berkuasa saat itu
amat korup, dan sering menyepelekan masalah persamaan hak. Oleh karenanya, maka
tak heran sebuah pemerintahan dengan luas kekuasaan hampir setengah dunia itu
pun seketika goyah.
Keterpurukan
Turki semakin menjadi ketika ia ikut turun dalam perang dunia pertama. Sebuah
negara yang sedang tidak stabil ada dalam kobaran perang maka hasilnya akan
mudah ditebak. Kesultanan Turki Utsmanipada akhirnya kalah, tumbang bersama
kedua pemerintahan monarki lainnya yaitu Kekaisaran Jerman, dan Tsar Rusia.
Dari
peristiwa itu Badiuzzaman menyaksikan beberapa daerah kekuasaan Turki terpecah
belah hingga yang tersisa hanyalah daerah Turki. Sebagian dari mereka
memerdekakan diri, dan sebagiannya lagi menjadi rampasan perang. Julukan Turki
sebagai ‘The Sick Man’ (orang sakit) pun menjadi julukan yang amat
memalukan. Semua itu mencapai klimaks ketika kelompok nasionalis membuat makar
dan menuduh bahwa biang keladi dari kemerosotan Turki adalah khilafah. Mustafa
Kemal sebagai pemimpin kelompok nasionalis kemudian merebut paksa pemerintahan,
mengusir sultan, dan pada tanggal 3 Maret 1924 meresmikan bahwa ideologi
khilafah di tanah Turki dihapuskan. Tepat pada tanggal itulah imperium yang berkuasa
lebih dari 600 tahun itu resmi berakhir.
Dalam
Api Tauhid, kita dapat memandang kondisi Turki melalui mata Badiuzzaman,
betapa sedihnya, betapa terpukulnya hati ketika menyaksikan Islam dalam simbol
Turki tercerai berai. Bahkan daerah Palestina yang terus bergolak sampai saat
ini diceritakan bahwa pemicu awalnya adalah karena kebokbrokanKesultanan Turki
Utsmani. Turki dalam komando Mustafa Kemal, yang kemudian mendapat gelar Attaturk
seketika itudiubah menjadi negara sekuler yang memisahkan kehidupan bernegara
dengan agama. Setelah perubahan sistem kenegaraan, Mustafa menerbitkan pula
peraturan-peraturan yang cukup ‘berani’, misalnyaperaturan penggunaan huruf
Arab ditiadakan, setiap mengumandangkan adzan harus menggunakan bahasa Turki,
tempat-tempat ibadah besardialihfungsikan menjadi museum, simbol agama harus
ditiadakan, sampaidengan pada larangan penggunaan niqab
dan jilbab.
Kegetiran,
ketegangan, dan terbangunnya kembali jiwa adalah sedikit efek yang akan
dirasakan ketika membaca novel sejarah Api Tauhid ini.
Kang
Abik melalui Api Tauhid seakan-akan mengumandangkan kembali apa yang
pernah disampaikan Bung Karno, ‘JASMERAH’ jangan sekali-kali melupakan
sejarah. Sejarah adalah sumber belajar paling murni sehingga dapat menjadi
cerminan dalam mengambil sikap dimasa mendatang. Membaca novel sejarah Api
Tauhid juga akan mengingatkan kita sedikit banyaknya pada Bumi Manusia¸
dengan konsep yang sama ‘novel sejarah’ Kang Abik dan Pak Pram berhasil
menghidupkan kembali api semangat yang berkobar pada masa silam.
Sebagai
tambahan. Masa dimanaBadiuzzaman Said Nursi hidup, adalah sama dengan masa
hidupnya Syaikh Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdatul Ulama), dan KH. Ahmad Dahlan
(pendiri Muhammadiyah). Melalui kedua tokoh ulama-agamawan ini tentunya kita
bisa merasakan perkembangan Islam di Indonesia. Akan sangat luarbiasa jika
diluar sana ada seorang novelis atau pengarang yang mampu menyusun kisah heroik
keduanya kedalam medium novel dengan kobaran semangat islam dan cinta tanah air
layaknya Api Tauhid.
“Diantara
yang paling penting yang telah aku pelajari dan aku dapatkan dari kehidupan
sosial manusia sepanjang hidup adalah bahwa yang paling layak untuk dicintai
adalah cinta itu sendiri, dan yang paling layak dimusuhi adalah permusuhan itu
sendiri. Faktor-faktor yang melahirkan cinta adalah keimanan, keislaman, dan
kemanusiaan serta berbagai mata rantai nurani yang kokoh dan benteng maknawi
yang tangguh”.–
Badiuzzaman Said Nursi
(Api
Tauhid, Halaman 372)
(Dede)
0 Comments