Bumi
Manusia merupakan roman yang ramai dibincangkan kembali dalam satu tahun
terakhir ini. Melalui media film Hanung Bramantyo pada pertengahan 2019 mencoba
membumikan Bumi Manusia, dan hasilnya tidak buruk. Walau begitu ternyata masih
banyak kaum muda yang tidak mengetahui sumber primer kisah tersebut, terlebih
terhadap Pramoedya Ananta Toer. Oleh karena itu untuk memantik semangat
berliterasi, maka Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Sinergis Uniku, Sabtu
(22/02/2020) menggelar acara bedah buku Bumi Manusia dengan tajuk ‘Membaca
Kembali Bumi Manusia’
Acara
bedah buku yang digelar di gedung Aula FKIP Uniku ini dipandu oleh tiga orang
penggiat literasi Kuningan, Pandu Hamzah, Tifani Kautsar, dan Ilham Akbar. Dibalik
masa lalu Bumi Manusia yang penuh kontroversi, ketiga pemandu bedah buku ini
sepakat bahwa roman Bumi Manusia dapat melampaui zamannya karena kemurnian cara
bertutur Pram (sapaan akrab Pramoedya Ananta Toer) dalam mengisahkan sebuah
kisah berlatar belakang sejarah.
“Pram
menulis Bumi Manusia tidak hanya mengangkat kisah dengan latar belakang sejarah
melainkan dengan murni menghidupkan kembalikisah masa-masa awal perjuangan
Indonesia itu. Berbeda dengan buku-buku sejarah pada umumnya yang banyak
ditunggangi berbagai macam kepentingan” ujar Tifani ketika memaparkan keunikan
Pramoedya dan Bumi Manusia-nya.
Semangat
yang ditawarkan Bumi Manusia pun memiliki pesonanya tersendiri. Sebut saja
semangat belajar dan semangat emansipasi yang ditunjukan oleh tokoh Nyai
Ontosoroh,wanita pribumi istri dari seorang saudagar Belanda.Kemudian semangat
nasionalisme dan anti kolonialisme yang ditunjukan oleh sang tokoh utama,
Minke. Semua itu dirasa akan selalu dipahami dan akanselalu menjadi pembahasan
yang up to date sampai kapanpun.
Pesona
dan kepamoran Bumi Manusia menjadi utuh ketika awal penerbitannya terdapat isu bahw
roman pertama dari empat serial tetralogi pulau Buru ini mengandung ideologi
komunis. Dengan sigap pemerintahan orde baru melalui Mahkamah Agung memberikan
cap ‘Bumi Manusia adalah Buku Terlarang’. Walau begitu pada akhirnya pernyataan
tersebut dicabut karena baik eksplisit maupun implisit Bumi Manusia tidaklah
mengandung paham kiri tersebut.
Kisah
Bumi Manusia mengambil latar tahun 1800-an. Masa ini adalah masa munculnya pemikiran
politik etis dan masa awal periode kebangkitan nasional. Berkisah tentang
pergolakan seorang terpelajar pribumi nyata R.M Tirti Adhi Soerjo yang kemudian
disulap dalam tokoh rekaan Minke ketika menghadapi kolonialisme, feodalisme,
dan perubahan zaman modern.
Sebagai
tokoh utama, Minke merupakan pemuda yang digambarkan sebagai sosok pelajar
ideal. Dimana ia mengamati dan mempelajari segala sesuatu dari berbagai sudut
pandang dengan satu tujuan melawan kolonialisme dan feodalisme. Minke banyak
memahami kondisi pribumi dari sudut pandang Nyai Ontosoroh, dan perkembangan
dunia dari mata Sarah dan Miriam de la Croix. Perpaduan pandangan inilah yang
menjadi senjata bagi Minke untuk menghadapi perubahan dunia pada awal abad ke-20.
Sebagaimana
yang disampaikan Pandu Hamzah, bahwa sejatinya Minke merupakan sosok pengamat,
yang mampu membaca situasi sosial, orang-orang, dan membaca perkembangan zaman
pada masa itu. Karakter ini pun menurut Pandu merupakan role model bagi
anak muda untuk selalu mawas diri dalambersikap terhadap zaman yang terus
mengalami perubahan.
“Karena
kebiasaan konsumtif kita. Nanti pada suatu saat tiba-tiba kita akan terhenyak,
kekuasaan sudah tidak ada pada diri kita, karena kita sudah menjual sawah demi
kebutuhan tersier kita, handphone, mobil, motor mewah. Sedangkan sawah kita ujung-ujungnya
dimiliki oleh mereka yang memproduksi handphone, mobil, dan motor. Menghadapi
semua hal itu akhirnya kembali pada diri kita sendiri, apakah kita ingin hanyut
saja? atau ingin seperti Minke yang menganalisa apa yang sedang terjadi
sekarang? Apa yang harus kita lakukan sekarang, agar kita dapat menghadapi
zaman yang terus berubah, dan agar anak cucu kita tidak sengsara dikemudian
hari?”
Pandu
pun menambahkan bahwa anak muda pada dasarnya harus progresif, mampu
beradaptasi terhadap perkembangan zaman. Mampu mengkombinasikan berbagai macam
pandangan, dan mampu membaca detail zaman secara literasi dengan memposisikan
diri sebagai subjek bukan objek.
“Minke
itu membaca detail zaman secara literasi. Dia tidak menjadi objek zamannya. Dia
menjadi subjek. Berdialektika dengan zaman. Kalau zaman sesuai akan aku
lakukan. Kalau tidak, maka apa salahnya jika aku tolak?” jelas Pandu dengan
penuh semangat.
Dalam
pemaparannya tersebut, Pandu seolah menjelaskan bahwa kita jangan sampai
tenggelam dalam romantisme masa lampau. Dimana keberhasilan-keberhasilan yang
diraih para pendahulu malah membuat kita terlena dan meninabobokan kemampuan
bernalar kita akan perubahan zaman yang sedang terjadi.
Setiap
zaman mempunyai problematikanya sendiri-sendiri. Tugas manusia setiap zamannya
harus mampu merumuskan apa yang sedang terjadi, dan bagaimana cara
menghadapinya/mengatasinya.
Selain
melalui karakter/watak tiap tokohnya, Pram juga merupakan sastrawan yang cukup
konsisten dalam berkarya sehingga akhirnya jadi idola dan panutan bagi para
sastrawan/penulis muda. Semangat Pram ketika berkarya setidaknya terlihat dalam
proses terciptanya Bumi Manusia. Pada tahun 1969 Pram ditahan, diasingkan, dan
dikirim ke pulau Buru, Maluku sebagai tahanan politik. Di tempat paling purba
dengan segala tekanan itulah Pram menyusun dan melahirkan Bumi Manusia.
Pada dasarnya dengan
adanya bedah bukuyang dilaksanakan LPM Sinergis Uniku, diharapkanmampu memantik
semangat bagi mereka yang belum membaca untuk membaca salah satu warisan sastra
klasik Indonesia,Bumi Manusia. Kemudian mengobarkan semangat bagi mereka yang
sudah membaca untuk mempelajari dan memahami kembali pesan dan pengajaran yang berusaha
disampaikan Pram dalam Bumi Manusia
( Dede Rudiansah )
0 Comments